
Kasus Pemerkosaan & Pelecehan Wanita RI Jadi Perhatian Asing

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam beberapa waktu terakhir, kasus pemerkosaan dan pelecehan yang menimpa kaum perempuan di Indonesia kian meningkat dan mencuat ke publik. Memperlihatkan jika RI darurat kekerasan seksual.
Kasus-kasus yang beredar juga membuat geram banyak pihak, menekan pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang sampai sekarang mandek.
Hal yang sama juga diwartakan oleh sebuah media asing. Los Angeles Times merilis kumpulan kisah tentang diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia yang dihadapi perempuan di Indonesia dalam tajuk 'Terlahir Dalam Bahaya'.
Dalam artikel berjudul 'An Indonesian girl's gang rape and murder sparked calls for change. Things only got worse' yang dirilis Senin (13/12/2021) lalu, Los Angeles Times memaparkan bagaimana pemerintah Indonesia lamban dalam menangani kasus-kasus pemerkosaan.
Dalam artikel itu ada kisah Yuyun (14) yang meninggal akibat Pemerkosaan berkelompok pada 2016; pemerkosaan 21 santri pondok pesantren di kota Bandung oleh seorang guru; hingga kasus bunuh diri mahasiswi NW, korban pemerkosaan dan aborsi kekasihnya yang seorang anggota polisi di Mojokerto, Jawa Timur.
"Negara dengan 17.000 pulau ini semakin berbahaya bagi perempuan dan anak perempuan, dan prospek untuk mengesahkan undang-undang untuk melindungi mereka semakin membuat frustasi," tulis media tersebut.
"Kematian Yuyun, yang pernah dilihat sebagai titik balik dalam masyarakat patriarki, kini menjadi simbol yang meresahkan tentang betapa sedikit kemajuan yang dicapai dalam perjuangan kesetaraan gender," tambahnya.
Mengutip data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, kasus pemerkosaan dan kekerasan lainnya yang dilaporkan terhadap anak perempuan dan perempuan telah melonjak sejak pembunuhan Yuyun pada tahun 2016, meningkat sebesar 66% menjadi 430.000 pada tahun 2019.
"Jumlahnya turun menjadi 300.000 pada tahun 2020 karena penguncian Covid-19, tetapi masih tetap 15% di atas level 2016. Komisi memperkirakan bahwa hanya 30% dari insiden yang dilaporkan karena korban sering takut atau putus asa untuk melapor ke polisi," lapor media itu lagi.
Veni Siregar, advokat lama untuk korban pelecehan perempuan untuk kasus Yuyun mengatakan krisis tersebut pada undang-undang negara yang lemah, yang mendorong orang-orang yang kasar untuk bertindak tanpa hukuman dan membuat polisi enggan menyelidiki serangan secara serius.
"Lima tahun setelah apa yang terjadi pada Yuyun, kami masih di tempat yang sama. Rasanya dia sudah dilupakan," katanya.
Veni memaparkan banyak kasus yang tidak diproses dengan baik. "Ketika serangan terjadi antara dua orang dewasa, pihak berwenang biasanya menyimpulkan bahwa itu bukan serangan tetapi tindakan seks suka sama suka," katanya.
"Situasinya bahkan lebih buruk ketika itu adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga karena mereka kebanyakan hanya meminta pasangan untuk berdamai."
Kasus pelecehan paling akut terjadi di lingkungan sekolah. Mengutip Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan teknologi Nadiem Makarim, media itu menulis pada November jika perguruan tinggi menghadapi "pandemi" kekerasan seksual.
Mengutip survei tahun lalu, ada 77% pendidik kampus mengetahui penyerangan. Namun, 63% dari mereka gagal melaporkannya.
Aktivis hak-hak perempuan mengatakan kasus bisa dihindari jika anggota parlemen mengesahkan RUU PKS. Jika disahkan, UU tersebut akan memberikan dukungan hukum dan medis bagi para korban. Saat ini UU yang ada masih mempersulit para korban untuk mengungkap pelaku kekerasan mereka.
"Meski jauh dari kata cukup, perlawanan terhadap kekerasan seksual di Indonesia kini menapaki tangga baru. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) resmi mengesahkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 pada November lalu. Aturan tersebut berisi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi," tulisnya.
Tidak hanya perlu UU baru, Los Angeles Times juga menulis Indonesia juga harus mulai menghapus perlahan jejak patriarki, di mana kekuasaan sebagian besar berada di tangan laki-laki, yang membuat ketidaksetaraan sehingga seks telah tumbuh lebih tabu dan tanpa perspektif perempuan.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jangan Salah, Pelecehan Seksual Bisa Terjadi Tanpa Disadari