Per 4 Agustus 2021 pukul 11:20 WIB, China masih menjadi penguasa podium. Negeri Tirai Bambu mengoleksi 32 medali emas, 21 perak, dan 16 perunggu. Amerika Serikat (AS) berada di peringkat kedua dengan raihan 25 emas, 29 perak, dan 21 perunggu.
Bukan kali in saja China menjadi 'raja' olahraga dunia. Kala menjadi tuan rumah di Beijing 2008, China menjadi juara umum dengan perolehan 48 emas, 22 perak, dan 30 perunggu.
Sejak Barcelona 1992, China menjadi papan atas di olimpiade. China tidak pernah terlempar dari posisi empat besar.
China pun merangsek ke posisi elit di peringkat perolehan medali olimpiade sepanjang masa. China menjadi satu-satunya negara Asia yang menghuni posisi 10 besar.
Ada apa dengan China? Mengapa mereka bisa begitu digdaya?
Sepertinya keseriusan negara dalam pembinaan olahraga menjadi kunci utama. Salah satunya melalui dukungan anggaran.
Mengutip riset berjudul Sport Policy in China (Mainland) karya Jinmin Zheng, Shushu Chen, Tien-Chin Tan, dan Patrick Wing Chun Lau, rata-rata anggaran untuk olahraga pada 1981-1985 adalah CNY 513,29 juta/tahun. Lima tahun kemudian, rata-ratanya naik lebih dari dua kali lipat menjadi CNY 1,19 miliar.
Pada 2019, anggaran belanja Badan Olahraga China (China General Administration of Sport) sudah mencapai CNY 9,35 miliar. Kalau dirupiahkan, nilainya adalah Rp 20,76 triliun dengan asumsi CNY 1 setara dengan Rp 2.221,815 sebagaimana kurs tengah transaksi Bank Indonesia tertanggal 4 Agustus 2021.
Sebagai perbandingan di Indonesia, pos belanja Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 adalah Rp 2,32 miliar. Pos belanja khusus untuk keolahragaan hanya Rp 322,6 juta.
"Performa China yang memburuk di Seoul 1988 (5 emas berbanding 15 emas di Los Angeles 1984) adalah sebuah titik balik. Dari situ, China menggenjot pengembangan olahraga dalam skala besar," tulis kajian Zheng dan kolega.
Sebuah simposium keolahragaan digelar pada 1989 untuk mengetahui kekuatan lawan-lawan utama (AS, Uni Sovyet, Jerman Timur, Jepang, Korea Selatan). Hasil simposium itu adalah perlunya pembangunan olahraga berbasis ilmu pengetahuan (sport science).
Pada 1990, pemerintah China merilis Program Kesehatan Nasional. Pemerintah China mengajak masyarakat untuk giat berolahraga. Tidak hanya untuk kesehatan, tetapi juga bertujuan memupuk prestasi. Di Indonesia, mungkin bisa dipadankan dengan program Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat pada era Orde Baru.
"Program Kesehatan Nasional membawa olahraga di China ke level yang lebih tinggi. Sebab, program ini dijalankan dengan legislasi yang rinci dan pengarusutamaan olahraga di semua penyusunan kebijakan," lanjut riset Zheng dan rekan.
Selain itu, China menjadikan Pekan Olahraga Nasional (PON) sebagai pijakan, landasan, tolok ukur untuk mencapai prestasi tertinggi di olimpiade. Dari PON, terpilih cabang olahraga dan atlet terbaik untuk digembleng agar bisa meraih medali olimpiade.
Halaman Selanjutnya --> Anggaran Terlalu Besar?
Sokongan menyeluruh dari negara dikenal dengan konsep Juguo Tizhi. Negara memberikan dukungan penuh kepada para atlet, pelatih, ofisial, dan berbagai pihak lain agar mampu berprestasi di kancah nasional, regional, dan internasional.
Biaya yang dikeluarkan memang tidak main-main. Mengutip China Daily, biaya yang dikeluarkan China untuk satu medali emas di Athena 2004 mencapai CNY 700 juta (Rp 1,55 triliun). Kala itu, China meraih 32 medali emas sehingga total biaya yang dikeluarkan mencapai CNY 22,4 miliar (Rp 49,77 triliun). Wow...
"Untuk sebuah negara dengan jumlah penduduk miskin yang banyak, angka itu sangatlah mahal," tegas Ma Chao, Kolumnis China Daily.
Oleh karena itu, Ma menilai dukungan pemerintah China seharusnya fokus kepada beberapa cabang olahraga saja yang potensial mendatangkan prestasi. Sementara cabang olahraga populer seperti sepakbola, bola basket, atau tenis dibuat profesional sehingga mampu menghidupi dirinya sendiri.
"Klub bisa membentuk asosiasi dan mengelola kompetisi sendiri tanpa intervensi pemerintah. Masyarakat dan dunia usaha juga bisa dilibatkan dalam pengelolaan olahraga yang populer tersebut.
"Kejayaan di olimpiade menjadi keajayaan sebuah negara adalah persepsi yang salah. Uni Sovyet dan Jerman Timur berjaya di olimpiade, tetapi tetap saja tidak bisa mengingkari takdir mereka. Oleh karena itu, sudah waktunya pemerntah China mengurangi gelontoran uang ke olahraga. Biarkan olahraga menjadi olahraga," pungkas Ma.
TIM RISET CNBC INDONESIA