Gegara Corona, Penjualan Gucci Cs Anjlok Sampai Rp 9600 T

Lynda Hasibuan, CNBC Indonesia
13 May 2020 17:36
FILE PHOTO: A Gucci sign is seen outside a shop in Paris, France, December 18, 2017. REUTERS/Charles Platiau
Foto: REUTERS/Charles Platiau
Jakarta, CNBC Indonesia - Boston Consulting Group mengungkap data mengejutkan soal anjloknya penjualan barang-barang bermerek seperti Gucci, Balenciaga, Louis Vuitton, dan kawan-kawannya hingga ratusan miliar dolar.

Mengutip Channel News Asia, penjualan ini diproyeksi akan sulit terdongkrak seperti semula selama pandemi masih berlangsung. Apalagi pertumbuhan penjualan mereka di tahun-tahun sebelumnya butuh perjuangan hingga puluhan tahun, sebelum akhirnya luluh lantak oleh corona.

Boston Consulting menghitung penurunan penjualan di tahun ini mencapai 35% akibat penutupan gerai secara berjamaah di penjuru dunia akibat pembatasan sosial dan lockdown.

Dampaknya bukan cuma pada penjualan jam atau tas, tapi juga produk fesyen, perhiasan, parfum, dan kosmetik. Ini, menurut mereka, lebih parah dampaknya ke Gucci Cs ketimbang resesi yang terjadi satu dekade lalu.



Hitungannya, total penurunan penjualan berada di angka UIS$ 450 miliar (Rp 6700 triliun) sampai US$ 650 miliar atau Rp 9600 triliun dibanding rekor tahun sebelumnya.

Proyeksi ini jauh lebih suram ketimbang estimasi Februari lalu yang masih diperkirakan penurunan hanya sebanyak 15% dibanding tahun lalu. Sebab, proyeksi saat itu dihitung sebelum virus ikut memporak porandakan benua Eropa dan Amerika, dan dinyatakan sebagai pandemi global.


"Ini lebih buruk ketimbang 2008, tidak diragukan kita akan melihat kurva V di sini, pertanyannya apakah nanti akan bergerak menjadi huruf U atau malah L," kata Konsultas BCG dan Head of Luxury Sarah Willersdorf.

Ia menjelaskan perbedaan dampak resesi 2008 yang lebih disebabkan goncangan finansial dan permintaan konsumen, kali ini serba lebih tidak pasti karena krisis saat ini memaksa pengusaha menutup gerai dan terjadi gangguan pada manufaktur.

Beberapa daerah akan lebih terpengaruh daripada yang lain, tergantung pada kekuatan ekonomi mereka, tingkat keparahan wabah, dan seberapa besar mereka bergantung pada penjualan wisatawan untuk penjualan fesyen mewah.

Eropa Selatan diperkirakan akan mengalami penurunan terbesar, dengan penjualan turun antara 85% hingga 95% antara Maret dan Mei.  Ekonomi kawasan itu tidak sekuat AS atau Cina dan pembatasan perjalanan yang terus-menerus akan membuat hambatan lebih lanjut pada pemulihan.



Namun penjualan sudah pulih dengan cepat di Cina, setelah mencapai titik terendahnya (turun 75% hingga 85%) di puncak krisis pada Februari.  

Perusahaan induk Gucci yakni Kering mengatakan bahwa pihaknya sudah mengamati tanda-tanda pelemahan ekonomi tapi juga berharap pemulihan berdasar pengalaman di China, apalagi kini beberapa gerai juga mulai buka.

Perusahaan yang dimiliki konglomerat Perancis berharap penurunan penjualan hanya sebesar 15% di kuartal pertama 2020 dibanding tahun lalu.

Penjualan di Amerika Utara, pasar mode dan barang mewah terbesar di dunia, diperkirakan turun di antara 75% hingga 85% dibandingkan dengan tahun lalu selama Maret dan April, diharapkan bisa pulih di angka 10% pada akhir tahun.

Willersdorf, mencatat bahwa langkah-langkah pemerintah AS untuk menghentikan penyebaran pandemi kurang agresif daripada negara-negara seperti Cina dan Singapura, yang cepat menerapkan jarak sosial dan langkah-langkah pelacakan. AS diharapkan kembali ke tingkat itu karena ini menyangkut kekuatan ekonomi.


[Gambas:Video CNBC]




(gus/gus) Next Article Gegara Corona, Gucci Cs Rugi Ribuan Triliun Rupiah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular