Internasional

Awas Kejahatan Siber, Yakin Dompet Digital Aman buat Belanja?

Ferry Sandria, CNBC Indonesia
05 July 2021 12:15
Close-up of female hand holding smartphone. Young businesswoman sitting at laptop in office holding credit card and entering data on her mobile phone
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Perkembangan teknologi kini membuat konsumen bisa menggunakan berbagai metode pembayaran baru di situs e-commerce dari sebelumnya dengan metode pembayaran yang masih terbatas.

Berkembangnya sistem pembayaran ini memunculkan pertanyaan baru terkait keamanan siber, baik bagi para pengguna maupun bagi bisnis dan sektor keuangan secara keseluruhan.

Dalam survei Mastercard tentang metode pembayaran baru yang dilakukan di 18 pasar secara global, mayoritas konsumen yang disurvei mengatakan mereka bersedia mempertimbangkan metode pembayaran baru seperti dompet digital, kode QR, dan bahkan mata uang kripto (cryptocurrency).

Hasilnya, sebanyak 90% konsumen telah mencoba setidaknya satu jenis metode pembayaran baru pada tahun lalu.

"Dan dari [yang telah mencoba] tersebut, dua pertiga dari mereka melakukannya untuk kali pertama, yang mana pengguna perdana tersebut tidak akan melakukannya jika bukan karena pandemi," kata Sandeep Malhotra, Wakil Presiden Eksekutif Produk dan Inovasi Mastercard untuk Asia Pasifik, dikutip dari CNBC International.

Di tengah beragamnya sistem pembayaran, ancaman terhadap keamanan siber (cybersecurity) telah lama disadari dan berkembang menjadi salah satu perhatian utama mengingat semakin banyak orang beralih ke pembayaran online baru.

Hal ini dibuktikan juga dalam survei Mastercard, yang mengungkapkan adanya keresahan yang meningkat dalam kasus penipuan online, efek dari pembatasan wilayah atau lockdown di sejumlah negara selama pandemi Covid-19.

"Satu dari empat konsumen mengalami semacam penipuan [dalam berbagai bentuk] sepanjang tahun lalu. Ada peningkatan kejahatan dunia maya sebesar 49% di tahun lalu, karena semua orang harus menetap di rumah," kata Malhotra.

Menanggapi hal tersebut, Mastercard telah mengambil sejumlah langkah untuk membangun kepercayaan konsumen saat menggunakan kartu kreditnya untuk pembayaran online.

"Apa yang kami lakukan pada [sistem pembayaran] pada dasarnya adalah menciptakan solusi yang aman dan terjamin, dan menawarkan kenyamanan kepada para pelanggan. Baik itu menggunakan biometrik atau menggunakan berbagai jenis metode verifikasi [tambahan] di luar PIN [Personal Identification Number], yang [akan memperkuat] kata sandi," kata Malhotra.

"Hal tersebut merupakan jaminan yang dicari konsumen," tambahnya.

Melindungi Privasi

CNBC melaporkan, tren kejahatan yang sama juga terjadi di Singapura, pandemi juga menyebabkan peningkatan potensi kejahatan dunia maya.

Penipuan e-commerce merupakan kasus tertinggi yang dilaporkan pada paruh pertama tahun lalu. Jumlah penipuan meningkat 73,8% menjadi 2.089 pada paruh pertama tahun 2020, naik dari 1.202 pada periode yang sama tahun 2019, menurut polisi setempat.

"Hal ini salah satunya disebabkan karena peningkatan transaksi online selama pandemi," kata mereka.

"Singapura adalah salah satu negara dengan penetrasi pembayaran tanpa sentuh (contactless) tertinggi di dunia," kata Anthony Seow, Direktur Pelaksana di bank DBS.

"Saya pikir secara global, nomor satu sepertinya Australia, kami mungkin nomor dua," tambahnya.

DBS saat ini menggunakan teknologi terbaru untuk memberantas kasus penipuan online, kata Seow.

"Kami sebenarnya menggunakan solusi terkemuka untuk memindai transaksi," jelasnya. "Terdapat AI [kecerdasan buatan] dan ada juga algoritma... kami dapat menyaring transaksi yang mencurigakan dan memblokirnya sebelum sampai kepada konsumen."

Untuk lebih meningkatkan privasi konsumen, Singapura membuat perubahan pada undang-undang perlindungan data pribadi.

Di bawah amandemen baru yang mulai berlaku tahun ini, perusahaan akan menghadapi hukuman yang lebih berat untuk pelanggaran data, tetapi akan mendapatkan lebih banyak kebebasan untuk menggunakan data pribadi dengan tujuan inovasi.

Baru-baru ini penyedia pelatihan perawatan kesehatan swasta HMI Institute of Health Sciences, didenda SG$ 35.000 atau setara Rp 378 juta (kurs 10.800) karena gagal menyediakan pengaturan keamanan yang memadai untuk melindungi data pribadi yang disimpan di servernya.

Pelanggaran data tersebut mempengaruhi lebih dari 110.000 orang, menurut laporan media lokal.

"Singapura sebenarnya memiliki undang-undang perlindungan privasi data yang cukup baik," kata Selena Ling, Kepala Ekonom di bank OCBC di Singapura.

"Saya pikir pada akhirnya, Anda tahu, pemerintah harus menyeimbangkan antara kebutuhan konsumen, dan juga kebutuhan industri atau bisnis."

"Saya kira bagi konsumen, mereka juga perlu tahu untuk apa saja informasi mereka digunakan. Dan saya pikir saat ini kesadaran [akan hal tersebut] semakin besar, dan tentu juga karena adanya peraturan perlindungan data, terkait jenis informasi apa yang harus mereka berikan kepada perusahaan yang mengumpulkan data tersebut," tambahnya.


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Simak! 4 Cara Non-aktifkan Kartu Kredit dengan Aman

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular