
Banyak Gagal Bayar, Ada Gap Aturan & Pengawasan Asuransi

Jakarta, CNBC Indonesia- Kasus gagal bayar perusahaan asuransi kepada nasabah beberapa kali terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini menjadi pertanyaan bagaimana hal ini bisa terjadi terus menerus.
Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo mengatakan pada dasarnya industri asuransi telah memiliki sejumlah peraturan ketat, dari pengaturan, pengawasan hingga pelindungan konsumen.
"Bahkan ini cenderung over regulated (terlalu ketat)," ujar Irvan dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Rabu (2/9/2020).
Meski demikian, Irvan menilai pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) cenderung masih lemah. Hal ini menyebabkan kesenjangan antara ketatnya aturan dengan lemahnya pengawasan di lapangan.
Industri dengan peraturan yang ketat dan sudah berjalan baik yang sering menjadi contoh adalah sektor perbankan, terutama setelah krisis 1998 dan 2008. Sayangnya, tidak demikian dengan yang terjadi dalam Industri Keuangan Non Bank (IKNB) karena masih ada jarak antara peraturan dengan pengawasan.
"Secara berkala, triwulan dan tahunan ada bermacam-macam laporan dari manajemen risiko, laporan keuangan namun sangat lemah berkaitan dengan kajian pengawasan. Dalam kasus gagal bayar, sebenarnya laproan dikirimkan kepada OJK, tetapi apakah langkah yang dilakukan apa penghentian produk atau kegiatan usaha tidak pernah dilakukan OJK," kata Irvan kepada CNBC Indonesia, Rabu (02/09/2020).
Namun, tuturnya, ketika masalah perusahaan asuransi semakin dalam dan cenderung terlambat, baru OJK muncul dengan memberikan sanksi yang berat.
Hal ini seperti terjadi pada Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life) pada akhir-akhir ini, Perusahaan yang selama ini beroperasi secara baik, namun tiba-tiba dikenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha (PKU) ketika ada masalah pembayaran klaim polis nasabah. Sanksi pembatasan kegiatan usaha kepada Kresna Life membuat pembayaran polis nasabah semakin terhambat.
Menurut Irvan, OJK sebaiknya berhati-hati dalam menetapkan PKU terhadap perusahaan asuransi, langkah ini justru berpotensi membawa potensi kerugian bagi nasabah. Pasalnya keputusan PKU bisa berdampak berat bagi industri, apalagi di masa pandemi ini hampir semua perusahaan asuransi mengalami hal sama.
"PKU ini pernah dialami oleh Bumi Asih Jaya yang berujung pailit. Malah mereka balik menggugat OJK karena PKU itu malapetaka bagi mereka dan ditinggalkan nasabah. Ini menjadi pelajaran, jangan sampai dialami oleh asuransi lain," kata Irvan.
Menurutnya, sebelum memberikan sanksi PKU, sebaiknya diberikan sanksi administrasi 1 sampai 3 yang juga memiliki jeda waktu.
Pengawasan Terintegrasi
Dia juga mengatakan pengawasan OJK sebaiknya lebih terintegrasi antara komisioner satu dan lain ke depannya. Pasalnya setiap bagian yang diawasi OJK memiliki keterkaitan satu sama lain, misalnya pada saat salah satu perusahaan asuransi rekeningnya diblokir oleh aparat hukum yang melibatkan komisioner pasar modal.
"Namun ternyata tidak serta merta diketahui atau dikoordinasi dengan IKNB. Jadi antara IKNB, pasar modal, edukasi dan perlindunan konsumen yidak terintegrasi satu sama lain. Ini juga sangat nyata belakangan ini," ujar Irvan.
Irvan menambahkan untuk menghindari gagal bayar, perusahaan asuransi harus tetap berpegang pada tiga hal dalam pengelolaannya yakni tata kelola yang baik, manajemen risiko, dan pemenuhan aturan. Tidak bisa hanya melakukan satu atau dua dari tiga hal tersebut, dan harus dilakukan secara konsisten. Selain itu diperlukan reformasi IKNB seperti yang pernah dicanangkan OJK beberapa waktu lalu.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Cara Cerdas Pilah-Pilih Asuransi Kala Pandemi