Siapa Jawara di Q3-2019: Emas, Deposito, Saham atau Obligasi?

Yazid Muamar, CNBC Indonesia
02 October 2019 13:16
Instrumen logam mulia berupa emas harganya naik paling tinggi karena adanya faktor perang dagang.
Foto: REUTERS/Issei Kato

Jakarta, CNBC Indonesia - Berakhirnya kuartal ketiga tahun 2019 meninggalkan beberapa catatan, khususnya terkait kinerja instrumen investasi yang biasa dimiliki masyarakat Indonesia.

Instrumen logam mulia berupa emas harganya naik paling tinggi selama 9 bulan pertama tahun ini karena faktor perang dagang AS-China sehingga investor melirik investasi aman alias safe haven.

Gonjang-ganjing hubungan geopolitik antara kedua negara adidaya itu yang saling berbalas tarif menghambat perdagangan global dan membuat ekonomi dunia lesu.


Akibatnya, harga emas menjadi naik karena banyak diburu. Harga emas di pasar spot global mengalami kenaikan sejak awal tahun sebesar 14,1% menjadi US$ 1.464/troy ons.

Sementara itu, instrumen investasi dengan pendapatan tetap seperti obligasi dan deposito menjadi yang paling stabil.

Untuk obligasi, dengan asumsi imbal hasil (yield) sebesar 7,25% sesuai yield SUN 10 tahun yang menjadi benchmark, maka keuntungan hingga kuartal III-2019 setara dengan 5,4%, atau tiga-perempat dari potensi keuntungan setahun penuh.


Di sisi lain untuk deposito, dengan diasumsikan suku bunga 5,5% untuk setahun, maka hingga September keuntungannya setara dengan sebesar 4,12%, atau tiga-perempat dari potensi keuntungan yang bakal dia dapat selama setahun tersebut.

Saham
Berbeda dari instrumen pendapatan tetap, instrumen berisiko seperti saham cenderung dihindari pelaku pasar. Hal ini mengacu pada kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang melemah sebesar 0,41% dan ditutup di 6.169 hingga akhir September. Pelemahan itu diikuti keluarnya investor asing dengan jual bersih (net sell) Rp 16 triliun di pasar reguler.

Instrumen mata uang atau valuta asing menjadi yang paling tertekan kinerjanya hingga September, dolar AS cenderung tertekan di hadapan rupiah dengan pelemahan 1,18% pada level Rp 14.205 per dolar AS sehingga berinvestasi di greenback bisa dibilang kurang menarik.

Belakangan, tensi ketegangan antara AS dengan China menurun seiring rencana pertemuan keduanya dalam perundingan tingkat tinggi bulan ini di Washington.

Wakil Perdana Menteri China Liu He dijadwalkan bertandang ke AS pada 7 Oktober guna memimpin delegasi. Pertemuan tersebut rencananya digelar selama 2 hari pada 10-11 Oktober.

China pun terus menunjukkan itikad baik untuk berdamai dengan AS. Kemarin, pemerintah China menyetujui pembelian kedelai dari AS sebanyak 600.000 ton untuk pengiriman November hingga Januari 2020. Ini adalah bagian dari kuota impor 2 juta ton yang bebas bea masuk.


TIM RISET CNBC INDONESIA

 


(yam/tas) Next Article Harga Emas Dunia Menguat, Emas Antam Turun Rp 3.000/gram

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular