CNBC Insight

Warga Minang Bantu Negara, Ramai-Ramai Sumbang Emas 14 Kg Beli Pesawat

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Senin, 08/12/2025 17:40 WIB
Foto: Rumah Gadang merupakan rumah tradisional Minangkabau. (Dok. Detikcom/Rifkianto Nugroho)
Naskah ini bagian dari CNBC Insight, menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu.

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah keadaan negara yang serba sulit, seperti terjadi pada masa awal kemerdekaan, masyarakat Minangkabau menunjukkan kepedulian luar biasa. Para warganya, khususnya ibu-ibu, secara sukarela pernah menyumbangkan harta mereka supaya Indonesia terlepas dari kesengsaraan. 

Kisahnya bermula pada September 1947. Dikutip dari akun resmi Perpustakaan Nasional, kala itu, proklamator yang juga asal Minang, Mohammad Hatta, menggagas pembentukan panitia pengumpulan emas untuk membeli pesawat. Setelah kemerdekaan, Indonesia memang membutuhkan pesawat untuk keperluan diplomasi, perang, dan angkutan. Jika sudah punya pesawat, maka satu kesulitan bisa terselesaikan. Perjuangan mencapai kemerdekaan sepenuhnya bakal bisa terwujud.

Sayangnya, keuangan pemerintah terbatas. Dalam kondisi perang dan krisis, alokasi anggaran untuk membeli pesawat bukan hal tepat. Atas alasan ini, bantuan masyarakat sangat menolong, termasuk dari warga Minang. Permintaan itu kemudian menarik perhatian masyarakat, khususnya kalangan ibu-ibu.


Ibu-ibu Minang sendiri sejak dahulu aktif membeli emas untuk ditabung. Tentu, permintaan tersebut dapat dengan mudah diwujudkan. Tak lama kemudian, terkumpul-lah 14 kilo gram (kg) emas yang nilainya setara Rp 31 miliar pada masa kini.

Menurut buku Awal kedirgantaraan di Indonesia: perjuangan AURI 1945-1950 (2008) seluruh emas tersebut kemudian diserahkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Dengan bantuan beberapa orang, AURI kemudian terhubung dengan Paul Keegan, warga Australia yang sedang menjual satu unit pesawat Avro Anson. Pembelian pun terjadi. Pesawat tersebut kemudian menjadi milik Pemerintah Indonesia dengan kode penerbangan RI-003. 

AURI kemudian menugaskan penerbang Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi untuk menjemput pesawat Avro Anson itu dari Singapura. Namun tugas tersebut tidak mudah karena Belanda melakukan blokade udara. Untuk menghindari pantauan musuh, pesawat terpaksa mengubah rute dan akhirnya berhasil mendarat di Padang, Sumatra Barat.

Sejak saat itu, RI-003 langsung difungsikan sebagaimana tujuan awalnya, yakni menjadi alat angkut dan sarana diplomasi. Halim dan Iswahyudi kemudian mengoperasikan pesawat tersebut untuk menjalin kontak dengan pemerintah Siam (Thailand) dan Singapura demi memperoleh dukungan senjata serta perlengkapan perang yang sangat dibutuhkan Republik.

Misi berbahaya ini mengharuskan mereka berulang kali menembus blokade Belanda. Untungnya, upaya itu berhasil. Dari Bangkok, mereka bahkan berhasil membawa pulang tambahan peralatan perang. Namun nasib RI-003 tidak panjang.

Pada 14 Desember 1947, saat Halim dan Iswahyudi sedang dalam perjalanan kembali ke Bukittinggi, pesawat itu mengalami kecelakaan di Tanjung Hantu, Murok Perak, akibat cuaca buruk. Halim dan Iswahyudi dinyatakan meninggal dunia. 

Sebenarnya, selain warga Minang, pembelian pesawat pada awal kemerdekaan dilakukan juga oleh masyarakat Aceh. Para orang kaya Aceh banyak mengumpulkan emas hingga 50 kg emas. Emas itu kemudian ditukar untuk membeli dua pesawat DC-3. Pesawat hasil patungan warga Aceh itu kemudian dinamai RI-001 dan RI-002. 


(mfa/mfa)