Presiden RI Biayai Warga yang Ingin Keliling Dunia Jalan Kaki & Gowes
Jakarta, CNBC Indonesia - Bagi kebanyakan orang, keliling dunia adalah mimpi besar yang sulit tercapai karena biaya dan tenaga yang tak sedikit. Tapi, sejarah mencatat hal unik. Presiden RI ternyata pernah membiayai lima warga yang nekat berkeliling dunia hanya dengan berjalan kaki dan bersepeda atau gowes. Warga tersebut adalah Rudolf Lawalata, Abdullah Balbed, Sudjono, Saleh Kamah dan Darmadjati.Â
Kejadian ini terjadi pada tahun 1955 ketika Indonesia sedang naik daun sebagai negara dunia ketiga yang vokal menentang neo-kolonialisme negara-negara Barat. Dalam semangat mengharumkan nama bangsa, kelima pemuda tersebut berniat mengelilingi berbagai negara dengan cara yang tidak lazim, yakni jalan kaki dan naik sepeda.Â
Kelima pemuda tersebut tidak saling mengenal, tetapi secara bersamaan mereka mengutarakan niatnya kepada awak media pada 1954.Â
Sebagai contoh, Koran Merdeka (6 Desember 1954), menulis tekad Saleh Kamah untuk keliling dunia dengan sepeda. Sementara koran Java Bode (22 Oktober 1954) mengabarkan Rudolf Lawalata yang sudah berjalan kaki dari rumahnya menuju Jakarta sebagai langkah awal menjelajahi dunia.
Kesamaan tujuan membuat mereka akhirnya berkumpul. Semua ingin bertemu Presiden Soekarno sebelum meninggalkan Indonesia. Mengetahui ini, Soekarno langsung mengumpulkan mereka di Istana Negara.
Dalam memoar Rp.50 Keliling Dunia (2009), Sujono menceritakan pertemuan itu berlangsung pada 8 Januari 1955 pukul 10 pagi. Mereka disambut langsung oleh Presiden Soekarno, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, serta beberapa pejabat tinggi negara. Soekarno bangga sekaligus memberi pesan penuh harapan.
"Anakku Rudolf Lawalata, Sujono, Abdullah Balbed, bawalah dirimu mengelilingi dunia tapi tunjukkanlah jiwamu tetap kepada Tuhan dan Indonesia," ujar Soekarno sambil menepuk dada mereka.
Presiden kemudian memberikan biaya berupa uang Rp50, senilai sekitar Rp700 ribu hari ini, serta satu kamera, tiga ransel, dan enam baju batik. Bermodal itu, kelima pemuda langsung berangkat menjalankan misi masing-masing.
Saleh Kamah dan Darmadjati memilih bersepeda dengan rute panjang. Mulai dari Malaysia, Pakistan, India, Irak, Iran, Turki, lalu ke Eropa. Dari sana mereka menyeberang ke Amerika Serikat menggunakan kapal laut, kemudian melanjutkan perjalanan ke Jepang, Filipina, dan kembali ke Indonesia.
Sementara Rudolf Lawalata, Sujono, dan Abdullah Balbed berjalan kaki melewati Malaysia, Timur Tengah, Eropa, Amerika Serikat, Amerika Latin, Rusia, kembali ke Timur Tengah, lalu pulang ke Indonesia.
Gaya perjalanan yang serba sederhana ini membuat mereka menarik perhatian di banyak negara. Mereka disambut hangat penduduk setempat dan bahkan diterbitkan di media internasional. United Press (2 Agustus 1956), misalnya, melaporkan kedatangan Sujono dan Abdullah Balbed di New York, tanpa kehadiran Rudolf Lawalata yang jatuh sakit di Jerman.Â
"Dua mahasiswa Indonesia, Sujono dan Abdullah Balbed yang sedang melakukan perjalanan keliling dunia dengan berjalan kaki, tiba di kota ini pada hari Rabu dengan Kapal Norwegia dari Eropa," tulis media asal AS tersebut.
Singkat cerita, total perjalanan mereka memakan waktu enam tahun. Namun tidak semuanya kembali ke Indonesia. Hanya Sujono dan Saleh Kamah yang pulang. Abdullah Balbed menetap di Amerika Serikat, Lawalata tinggal di Jerman, dan riwayat Darmadjati tak diketahui.
Ketika kembali, Sujono dan Saleh mendapat sambutan meriah dari masyarakat serta aparat, bahkan dipanggil lagi ke Istana. Dari pengalaman panjang itu, Sujono menarik satu kesimpulan penting.
"Akhirnya, saya berkesimpulan, bahwa pengalaman masih perlu dilengkapi dengan pengetahuan untuk menunjang hidup dan pengabdian pada tanah air," ujar Sujono.
Di tahun-tahun berikutnya, masing-masing menjalani takdirnya. Abdullah Balbed kerja di Kedubes AS hingga wafat pada 2015. Saleh Kamah menjadi wartawan hingga wafat pada 2011. Sujono meninggal di AS pada 2019. Sementara jejak Lawalata dan Darmadjati hilang dari catatan sejarah.
(mfa/luc)