MARKET DATA
CNBC Insight

Modal Rp 700 Ribu, 5 Pemuda RI Nekat Keliling Dunia Jalan Kaki & Gowes

MFakhriansyah,  CNBC Indonesia
14 December 2025 19:00
Direktur Utama (Dirut) PT MRT Jakarta William Sabandar meninjau kesiapan jelang simulasi uji coba sepeda non lipat masuk MRT di Stasiun Lebak Bulus, Jakarta, Jumat, 19/3. Sepeda non lipat agar diperbolehkan masuk dalam kereta. Rencananya, kebijakan ini akan diberlakukan mulai 24 Maret mendatang. Sebelumnya MRT hanya memperbolehkan sepeda lipat (folded bike) untuk naik kedalam kereta. Pada tahap awal implementasinya, hanya 3 stasiun MRT saja yang sudah dilengkapi dengan fasilitas jalur khusus sepeda di tangga stasiun. Alasan peluncuran fasilitas jalur khusus sepeda baru dipasang di 3 stasiun itu saja karena ketiganya merupakan letak strategis. Stasiun Lebak Bulus Grab dan Bundaran HI sama-sama stasiun akhir, sedangkan Blok M BCA berada di tengah-tengah rangkaian seluruh stasiun MRT Jakarta. Ada kriteria sepeda non lipat yang bisa masuk ke kereta MRT. Sepeda non lipat yang diizinkan masuk hanya sepeda reguler dengan dimensi maksimal 200 cm x 55 cm x 120 cm. Sedangkan, sepeda tandem dilarang masuk. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Uji Coba Sepeda Non Lipat Bisa Dibawa Masuk Kereta MRT. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Uang Rp700 ribu mungkin terdengar kecil, tapi jumlah itulah yang menjadi bekal lima pemuda Indonesia pada 1955 untuk nekat keliling dunia dengan berjalan kaki dan bersepeda. Mereka adalah Rudolf Lawalata, Abdullah Balbed, Sudjono, Saleh Kamah, dan Darmadjati.

Aksi ini terjadi di masa ketika Indonesia baru muncul sebagai negara dunia ketiga yang vokal menentang neo-kolonialisme Barat. Dalam semangat mengharumkan nama bangsa, kelima pemuda tersebut memutuskan untuk menjelajahi berbagai negara dengan cara tidak biasa, yakni berjalan kaki dan naik sepeda.

Uniknya, mereka awalnya tidak saling mengenal. Namun pada 1954, masing-masing menyampaikan rencana yang sama kepada media. Koran Merdeka (6 Desember 1954) memberitakan tekad Saleh Kamah mengelilingi dunia dengan sepeda. Sementara Java Bode (22 Oktober 1954) menulis kisah Rudolf Lawalata yang mulai berjalan kaki dari rumahnya menuju Jakarta sebagai langkah awal penjelajahan.

Kesamaan tujuan itu membuat mereka akhirnya berkumpul dan sepakat ingin bertemu Presiden Soekarno sebelum berangkat. Mendengar permintaan itu, Soekarno memanggil mereka ke Istana Negara.

Dalam memoar berjudul Rp.50 Keliling Dunia (2009), Sujono menuliskan pertemuan tersebut berlangsung pada 8 Januari 1955 pukul 10 pagi. Soekarno menyambut mereka bersama Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan sejumlah pejabat. Bung Karno bangga dan memberikan pesan khusus.

"Anakku Rudolf Lawalata, Sujono, Abdullah Balbed, bawalah dirimu mengelilingi dunia tapi tunjukkanlah jiwamu tetap kepada Tuhan dan Indonesia," ujar Soekarno sambil menepuk dada mereka.

Selain pesan moral, Presiden juga memberi mereka uang Rp50 atau setara Rp700 ribu saat ini. Uang itu ditambah kamera, ransel, dan baju batik. Dengan modal sederhana itu, mereka pun memulai perjalanan.

Saleh Kamah dan Darmadjati memilih rute bersepeda melalui Malaysia, Pakistan, India, Irak, Iran, Turki, lalu Eropa. Dari sana, mereka menyeberang ke Amerika Serikat menggunakan kapal laut, lanjut ke Jepang, Filipina, dan kembali ke Tanah Air.

Sementara itu, Rudolf Lawalata, Sujono, dan Abdullah Balbed berjalan kaki melewati Malaysia, Timur Tengah, Eropa, Amerika Serikat, Amerika Latin, Rusia, kembali ke Timur Tengah, lalu pulang ke Indonesia.

Bekal yang dipegang para pemuda itu tentu saja tidak bisa mencukupi untuk hidup di negeri orang dan tak mudah. Beruntungnya, mereka sering mendapat bantuan dana dari berbagai orang di dunia yang menaruh perhatian kepada mereka. Banyak warga lokal menyambut membantu mereka. 

Namun, ada kalanya mereka tidak mendapat uluran tangan dan diharuskan bekerja paruh waktu di negeri orang. Atas dasar inilah, banyak media asing menulis kehidupan mereka. Koran United Press (2 Agustus 1956), misalnya, melaporkan kedatangan Sujono dan Abdullah Balbed di New York, sementara Rudolf Lawalata absen karena sakit di Jerman.

"Dua mahasiswa Indonesia, Sujono dan Abdullah Balbed yang sedang melakukan perjalanan keliling dunia dengan berjalan kaki, tiba di kota ini pada hari Rabu dengan Kapal Norwegia dari Eropa," tulis media tersebut.

Petualangan ini berlangsung total enam tahun. Namun tak semuanya kembali ke Indonesia. Hanya Sujono dan Saleh Kamah yang pulang. Abdullah Balbed menetap di Amerika Serikat, Lawalata tinggal di Jerman, dan jejak Darmadjati hilang dari catatan sejarah.

Setibanya di Tanah Air, Sujono dan Saleh disambut meriah masyarakat serta aparat, bahkan diundang lagi ke Istana Negara. Dari perjalanan panjang itu, Sujono mengambil pelajaran penting:

"Akhirnya, saya berkesimpulan, bahwa pengalaman masih perlu dilengkapi dengan pengetahuan untuk menunjang hidup dan pengabdian pada tanah air," ujarnya.

Di tahun-tahun selanjutnya, mereka menjalani kehidupan masing-masing. Abdullah Balbed bekerja di Kedubes AS hingga wafat pada 2015, Saleh Kamah menjadi wartawan sampai meninggal pada 2011, Sujono wafat di AS pada 2019, sementara Lawalata dan Darmadjati tak lagi terlacak jejaknya dalam sejarah.

(mfa/wur)
Next Article Presiden RI Marah ke Presiden AS, Niat Kerja Sama Malah Dikerjain


Most Popular
Features