CNBC Insight

Presiden Mesir Tewas Ditembak Tentara Sendiri Usai Damai dengan Israel

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
07 October 2025 12:05
Personel militer berjaga pada hari kunjungan Perdana Menteri Mesir Mostafa Madbouly ke perbatasan Rafah antara Mesir dan Jalur Gaza, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Islam Palestina Hamas, di Rafah, Mesir, 31 Oktober 2023. (REUTERS/Mohamed Abd El Ghany)
Foto: Personel militer berjaga pada hari kunjungan Perdana Menteri Mesir Mostafa Madbouly ke perbatasan Rafah antara Mesir dan Jalur Gaza, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Islam Palestina Hamas, di Rafah, Mesir, 31 Oktober 2023. (REUTERS/MOHAMED ABD EL GHANY)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perdamaian antara sejumlah negara Arab dengan Israel, terutama yang selama ini dikenal vokal menentang zionisme, kerap memicu perdebatan tajam dan perpecahan di dalam negeri. Salah satu peristiwa paling tragis terjadi di Mesir, ketika Presiden Anwar Sadat (1970-1981) tewas dibunuh oleh tentaranya sendiri, tak lama setelah menandatangani perjanjian damai dengan Israel.

Peristiwa itu terjadi pada 6 Oktober 1981 saat Sadat menghadiri parade militer besar-besaran di Kairo. Parade tersebut digelar untuk memperingati keberhasilan pasukan Mesir menyeberangi Terusan Suez dan menembus pertahanan Israel dalam Perang Yom Kippur tahun 1973.

Seperti halnya pemimpin negara lain, Sadat duduk di tribun utama dengan pengamanan super ketat. Tak ada yang mengira akan terjadi sesuatu, sebab parade militer biasanya menggunakan senjata tanpa peluru tajam. Ini prosedur standar di banyak negara.

Namun, tanpa disadari, pasukan militer Mesir telah disusupi kelompok yang ingin menghabisi nyawa sang presiden. Saat iring-iringan kendaraan militer melintas di depan tribun, sebuah truk berhenti. Salah satu perwira di atasnya turun, lalu memberi hormat kepada Sadat.

Mengutip New York Times, Sadat lantas membalas hormat itu dengan berdiri. Namun, hormat tersebut ternyata hanyalah siasat. Dalam sekejap, tiga granat dilemparkan ke arah tribun, diikuti tembakan senapan otomatis dari pasukan di truk tersebut. Kekacauan pun pecah. Sadat tumbang di tempat bersama sejumlah pejabat dan penonton lain.

Presiden Sadat segera dilarikan ke rumah sakit dan sempat menjalani operasi, tetapi nyawanya tak tertolong. Dia dinyatakan meninggal dunia pada hari yang sama, 6 Oktober 1981.

Imbas Damai dengan Israel

Otak di balik serangan itu adalah Letnan Khalid Islambouli, anggota kelompok radikal Jihad Islam Mesir. Kelompok ini muncul sebagai reaksi keras terhadap kebijakan Sadat yang dianggap berkhianat terhadap perjuangan Palestina.

Sejak berdirinya negara Israel pada 1948, Mesir menjadi salah satu negara Arab yang paling vokal menentang zionisme. Negeri itu berulang kali terlibat perang melawan Israel, termasuk dalam Perang Yom Kippur pada 6 Oktober 1973. Kala itu, pasukan Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak ke wilayah Israel bertepatan dengan Hari Besar Yahudi. Serangan ini juga tak terdeteksi intelijen AS, sehingga begitu menggemparkan dunia.

Menurut buku Anwar Sadat: visionary who dared (2013), sikap Anwar Sadat berubah drastis beberapa tahun kemudian. Pada 26 Maret 1979, dia menandatangani Perjanjian Damai Camp David dengan Perdana Menteri Israel Menachem Begin, disaksikan langsung oleh Presiden AS Jimmy Carter. Sadat menilai Israel tak bisa dikalahkan secara militer, dan perdamaian merupakan jalan terbaik bagi stabilitas kawasan.

Keputusan itu menimbulkan gelombang penolakan besar di dalam negeri. Banyak kalangan, termasuk kelompok militer dan ulama garis keras, menganggap Sadat mengkhianati perjuangan Arab. Dari situ lahirlah kelompok Jihad Islam Mesir, yang kemudian merencanakan pembunuhan terhadap sang presiden.

Meski gerakan tersebut sempat ditekan, jejak-jejak kelompok tak menghilang begitu saja. Salah satunya, Khalid Islambouli yang juga seorang tentara Mesir dan melancarkan aksinya dalam parade militer 1981. Islambouli sendiri berhasil ditangkap di tempat kejadian. Dia kemudian divonis mati dan tewas di tangan algojo pada 15 April 1982. 


(mfa/luc)

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular