CNBC Insight

Cerita Kunjungan Presiden ke-2 RI di Belanda, Disambut Demo-Ketegangan

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Jumat, 26/09/2025 16:40 WIB
Foto: Presiden ke-2 Indonesia Soeharto tahun 1972 (AFP/-)
Naskah ini bagian dari CNBC Insight, menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu.

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Prabowo Subianto tiba di Belanda pada Kamis waktu setempat. Dalam kunjungan ini, Prabowo dijadwalkan bertemu Raja Willem Alexander di Istana Huis ten Bosch serta Perdana Menteri Belanda.

Agenda tersebut bertujuan mempererat hubungan bilateral sekaligus memperluas kerja sama strategis kedua negara. Ia disamput dengan suka cita di negeri itu.

Kedatangan Prabowo ini kontras dengan kunjungan pertama Presiden RI ke Belanda oleh Soeharto sejak merdeka pada 4 September 1970. Saat itu, kunjungan Soeharto disambut oleh aksi demonstrasi, tindakan anarki, dan penyanderaan oleh sejumlah kelompok.

Bahkan agenda sempat terancam batal demi alasan keamanan. Berikut rangkuman CNBC Insight Jumat (26/9/2025):


Ulah RMS

Soeharto merupakan Presiden RI pertama yang melakukan kunjungan kenegaraan ke Belanda. Dia dijadwalkan tiba pada 31 Agustus 1970.

Sebelumnya, Presiden Soekarno enggan datang karena masih menyimpan luka kolonialisme. Sayang, momentum kunjungan perdana itu justru dimanfaatkan oleh sejumlah pemuda yang mengatasnamakan diri bagian dari Republik Maluku Selatan (RMS).

Sebagai catatan, RMS adalah gerakan separatis yang dideklarasikan pada 1950 untuk memisahkan Maluku dari Indonesia. Gerakan ini muncul akibat ketidakpuasan masyarakat Maluku terhadap transisi pemerintahan pasca-Republik Indonesia Serikat.

Sejak itu, RMS membentuk pemerintahan bayangan dan memiliki banyak simpatisan di Belanda. Menurut harian Nasional (2 September 1970), pada akhir Agustus 1970, atau ketika Soeharto dijadwalkan tiba, sekelompok pemuda RMS melakukan serangan bersenjata dan penyanderaan di rumah Duta Besar RI Taswin Natadiningrat di Den Haag. 

Mereka berhasil menahan keluarga sang duta besar dan membuat heboh Belanda. Aksi itu dilakukan untuk memaksa Presiden Soeharto bertemu Presiden RMS, Johan Manusama, dan meminta RMS diwujudkan di Maluku Selatan.

Menyikapi adanya serangan, pemerintah Belanda kemudian menanggapinya secara serius.

"Mobil-mobil lapis baja langsung dikerahkan ke tempat kediaman resmi Dubes RI untuk memulihkan keamanan," ungkap Nasional (2 September 1970).

Untungnya penyanderaan berakhir singkat. Dari kejadian, total 15 pelaku berhasil ditangkap dan seorang polisi Belanda tewas.

Meski begitu, insiden tersebut berdampak besar pada rencana kedatangan Soeharto. Tim keamanan Presiden RI menilai peristiwa itu sangat serius dan mengancam keamanan, sehingga terpaksa waktunya ditunda. 

"Keberangkatan presiden pasti jadi, cuma waktunya masih sedang dipertimbangkan," kata Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara, Mayjen Sutopo, kepada koran Nasional (3 September 1970). 

Harian Nasional (3 September 1970) memberitakan, pihak istana selama berhari-hari menyusun ulang jadwal dan berkoordinasi soal pengamanan. Akhirnya diputuskan Soeharto tetap berangkat pada 2 September 1970, molor tiga hari dari rencana awal 31 Agustus. Bahkan, kunjungan dipangkas hanya berlangsung semalam.

Lalu, untuk mengantisipasi ancaman, tim keamanan menurunkan 15 penembak jitu. Soeharto juga menolak permintaan dari kelompok RMS.

"Presiden Soeharto tidak akan menerima permintaan untuk bertemu Manusama (Presiden RMS)," ungkap Menteri Luar Negeri Adam Malik kepada Nasional (3 September 1970).

Diselimuti Ketegangan

Sikap keras Indonesia itu ditanggapi Pemerintah Belanda dengan permintaan maaf. Belanda juga mengambil langkah tegas dengan melarang aksi demonstrasi serta menindak perusuh yang menolak kedatangan Soeharto yang sudah muncul sejak beberapa hari. 

"Pemerintah Belanda telah mengeluarkan larangan berdemonstrasi dan kehadiran spanduk berisi penolakan kunjungan Presiden Soeharto. Pemerintah Belanda juga telah menangkap orang RMS yang mendekati Kedubes RI," tulis Nasional (4 September 1970).

Akhirnya, waktu kunjungan pun tiba. Pada 3 September 1970 pukul 15.30, Soeharto tiba di Den Haag. Dia disambut langsung oleh Ratu Juliana, keluarga kerajaan, serta duta besar RI di Belanda.

Setelah upacara penyambutan, Soeharto dan rombongan tidak menempuh jalur darat. Demi alasan keamanan, mereka diterbangkan dengan helikopter langsung ke Istana Huis ten Bosch.

Setelah acara di istana selesai, barulah Soeharto menggunakan jalur darat menuju gedung parlemen. Itu pun jalurnya sudah sudah dikosongkan dan dijaga ketat.

Bahkan warga Indonesia yang ingin menyambut pun tak diizinkan masuk. Menurut koran Nasional (5 September 1970), kunjungan Soeharto menjadi salah satu pengawalan terketat terhadap kepala negara dalam sejarah negeri Belanda. 

Di parlemen, Soeharto bertemu Perdana Menteri Belanda dan jajaran menterinya. Tak lama kemudian, dia kembali ke bandara dan langsung bertolak ke Jerman. Beruntung, kunjungan singkat itu berjalan lancar dan Soeharto pulang ke Tanah Air dengan selamat pada 13 September 1970. 


(mfa/șef)