ASN & Pejabat Naik Gaji Tapi yang Kerjanya Buruk Dihukum Mati
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Prabowo Subianto memutuskan menaikkan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN). Kebijakan ini menyasar guru, dosen, tenaga kesehatan, penyuluh, TNI/Polri, hingga pejabat negara. Tujuannya meningkatkan kesejahteraan ASN agar lebih adil, layak, dan kompetitif.
Sejarah mencatat, kenaikan gaji aparat bukan hal baru. Lebih dari dua abad lalu, kebijakan serupa pernah dijalankan oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811). Bedanya, selain menaikkan gaji, Daendels juga menyiapkan hukuman berat bagi ASN (dulu disebut Ambtenaar) dan pejabat negara yang tidak becus bekerja meski sudah dapat kenaikan gaji.
Gaji Naik, Kerja Harus Benar
Saat diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1808, Daendels langsung membuat gebrakan. Dia menaikkan gaji pejabat dan birokrat (Ambtenaar) dengan harapan perilaku korupsi bisa ditekan. Menurut sejarawan Djoko Marihandono dalam riset Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Daendels di Jawa 1808-1811 (2005), langkah ini ditempuh untuk memperbaiki kinerja aparat yang selama era VOC terkenal bobrok.
Maklum, selama VOC berkuasa (1602-1799), korupsi merajalela. Ini terjadi karena VOC menggaji para stafnya dengan nominal kecil. Sementara, biaya hidup di Nusantara sangat tinggi. Belum lagi, jika para stafnya punya keluarga, maka gaji harus dikirim ke Belanda. Alhasil, mereka yang tak bisa bertahan hidup, harus mencari uang tambahan, seperti korupsi.
"Para pejabat VOC yang seharusnya berdagang demi kepentingan majikan, justru berusaha demi keuntungan sendiri," ungkap Sejarawan Ong Hok Ham dalam Wahyu Yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).
Dari praktik tersebut, perusahaan dagang terbesar dunia itu akhirnya ambruk. Dalam catatan sejarawan Bernard H.M Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008), berkat kebijakan baru ini, para pejabat bisa mendapat penghasilan tahunan hingga 100 ribu gulden.
Namun, kebijakan kenaikan gaji ini berjalan beriringan dengan ancaman hukuman berat. Daendels juga mengancam akan menghukum mati pejabat yang kinerjanya tak benar, mendapat sogokan, hingga menerima hadiah. Dengan begitu, tidak ada lagi alasan bagi aparat untuk bekerja setengah hati.
Kasus Kolonel Filz
Meski kebijakan itu terdengar keras, faktanya tidak semua aparat jera. Salah satu contoh paling terkenal adalah kasus Kolonel JPF Filz.
Filz adalah perwira militer yang ditugaskan menjaga Ambon, pusat rempah-rempah dunia kala itu. Tugasnya mempertahankan Ambon dari serangan Inggris. Namun, alih-alih bertempur, dia justru menyerahkan kota strategis itu begitu saja. Jika Ambon hilang, maka negara akan mengalami kerugian.
Padahal, menurut laporan Bataviaasche Koloniale Courant (18 Mei 1810), Filz memiliki ribuan pasukan dan digaji besar. Keputusan menyerah tanpa perlawanan membuat Daendels murka. Dia segera memerintahkan penangkapan bawahannya itu.
"Setelah memeriksa laporan singkat, Gubernur Jenderal Daendels sangat marah dan tersentuh oleh perilaku Kolonel Filz," tulis surat kabar tersebut.
Filz dibawa ke Bogor, lalu dijebloskan ke penjara militer. Dia dituduh merugikan negara hingga 3.000 ringgit akibat hilangnya Ambon. Dalam sidang di Batavia, Filz membela diri bahwa pasukannya kekurangan amunisi dan perbekalan. Menurutnya, bertahan hanya akan menimbulkan pertumpahan darah sia-sia.
"Tuntutan ini tidak dapat saya setujui karena saat itu kita kekurangan amunisi dan perbekalan. Kegigihan saya akan berakibat fatal sebab akan sangat menguras darah," tulis Filz dalam suratnya, 17 Februari 1810.
Namun, alasan itu tidak diterima. Setelah sidang berlangsung berminggu-minggu, pengadilan militer memutuskan Filz bersalah. Dia dijatuhi hukuman mati karena dianggap lalai dan merugikan negara.
Akhirnya, pada 10 Juni 1810, Kolonel JPF Filz dieksekusi dengan tembakan regu algojo.
(mfa/mfa)