CNBC Insight

Viral Sosok Ini Diduga Korupsi Gaji Kuli Proyek Jalan 1.000 Km di Jawa

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
21 October 2025 13:35
Patung Herman Willem Daendels, Pelopor Jalan Anyer-Panarukan. (Foto: Cornelis Jonathan Sopamena)
Foto: Patung Herman Willem Daendels, Pelopor Jalan Anyer-Panarukan. (Foto: Cornelis Jonathan Sopamena)
Naskah ini bagian dari CNBC Insight, menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu.

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, muncul narasi baru terkait proyek pembangunan Jalan Anyer-Panarukan sepanjang 1.000 kilometer. Video tersebut menyebutkan jalan yang dibangun atas perintah Marsekal Herman Willem Daendels (1808-1811) itu sebenarnya tidak benar-benar menggunakan kerja paksa.

Para pekerja atau kuli disebut mendapat upah, tetapi uangnya tidak sampai karena dikorupsi para bupati. Narasi ini mematahkan pandangan yang selama ini beredar mengenai Daendels sebagai sosok yang memerintah dengan tangan besi demi membangun jalan yang membelah Pulau Jawa tersebut.

Namun, Bagaimana Fakta Sebenarnya?

Daendels tiba di Batavia pada 5 Januari 1808. Dia ditetapkan sebagai Gubernur Jenderal oleh Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte untuk memperkuat pertahanan Belanda di Jawa dalam menghadapi Inggris. Dengan demikian, kekuasaan Daendels juga menandai masa penjajahan Prancis atas Indonesia.

Gebrakan awal pria yang lahir pada 21 Oktober 1762, tepat hari ini 263 tahun lalu, itu di Indonesia adalah membangun Jalan Raya Pos. Jalan ini menghubungkan bagian barat (Anyer) hingga timur Pulau Jawa (Panarukan) dengan menyusuri pantai utara. 

Menurut sejarawan Djoko Marihandono dalam riset Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Daendels di Jawa 1808-1811 (2005), awalnya Surabaya dipilih sebagai ujung pembangunan, tetapi Daendels melihat wilayah itu bisa berpeluang jadi tempat pendaratan Inggris. Atas dasar ini, dia memperpanjang proyek hingga Panarukan. Terlebih, di sana, juga terdapat perkebunan gula dan nila yang bisa menjadi komoditas ekspor penting. 

Proyek besar ini kemudian membutuhkan banyak tenaga kerja, yang sebagian besar berasal dari kalangan pribumi. Dalam pelaksanaannya, proyek pembangunan jalan dilakukan secara bertahap. Tidak langsung dari Anyer ke Panarukan, tetapi Anyer-Batavia-Cirebon-Panarukan.

Kepada CNBC Indonesia, sejarawan Nanyang Technological University, Christopher Reinhart mengungkap, Daendels memiliki anggaran untuk membangun proyek tersebut. Namun, dananya hanya cukup untuk membangun jalan dari Anyer ke Cirebon. Hanya saja, tidak diketahui lebih lanjut apakah dana tersebut mengalir ke para pekerja atau tidak.

"Dalam proyek, ada dana. Tapi, masalah dana itu diberikan kepada para pekerja tidak bisa diketahui sebab tidak ada catatan mengenai transaksi tersebut," katanya dikutip Selasa (21/10/2025).

Menurutnya, arsip mengenai dana proyek memang ada, tetapi catatan aliran dana kepada para pekerja tidak ditemukan.

"Jadi, memang tidak diketahui dibanding menyebutnya sebagai korupsi," ungkap Reinhart.

Untuk menyelesaikan sisa proyek jalan dari Cirebon ke Panarukan, Daendels lantas sempat meminta dana kepada para bupati. Pada 28 April 1808 di Semarang, Daendels mengadakan pertemuan di rumah Gubernur Pantai Timur Jawa dan mengundang sekitar 40 bupati. Dalam rapat itu, dia menjelaskan pemerintah kolonial sudah kehabisan dana untuk melanjutkan proyek.

Daendels kemudian memanfaatkan celah pajak. Saat itu, para bupati yang mewakili sultan memiliki hak memungut pajak, baik berupa pajak hasil bumi (pajak natura) maupun pajak tenaga kerja (wajib kerja rakyat). Biasanya, hak ini digunakan untuk kepentingan pribadi para bupati.

Namun, kali ini Daendels meminta agar hak tersebut dialihkan untuk membiayai proyek jalan. Para bupati kemudian setuju memberikan uang yang seharusnya menjadi miliknya dipakai untuk membangun jalan.

Soal pengawasan proyek, Daendels dikenal sebagai sosok yang sangat anti-korupsi. Pada awal masa kekuasaannya, dia bahkan memberlakukan kebijakan kenaikan gaji bagi pejabat dan aparatur negara agar mereka tidak tergoda melakukan praktik korupsi.

Dalam konteks pembangunan jalan, jika benar ada bupati yang berani melakukan korupsi seperti disebutkan dalam narasi viral, terutama dalam proyek yang diawasi langsung olehnya, tentu sudah tercatat adanya hukuman bagi pelakunya.

"Bisa dibayangkan, kalau seandainya ada bupati atau bawahannya korupsi di proyek yang dia pimpin langsung, orang itu bisa dipenggal," ujar Reinhart.

Sementara itu, sejarawan Jan Breman dalam buku Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa (2014) mencatat megaproyek ini melibatkan ribuan tenaga kerja, dan belasan ribu di antaranya meninggal dunia. Pada akhirnya, proyek ini pun dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Bahkan, sebelum Daendels sendiri lengser pada 1811. 


(mfa/mfa) Next Article Naik Gaji Tapi Tak Becus Kerja, Pejabat Didakwa Korupsi-Dihukum Mati

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular