CNBC Insight

Mendadak Berisik Gemuruh Awal Petaka Hantam Jakarta-34.000 Orang Tewas

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Sabtu, 06/09/2025 09:45 WIB
Foto: (AFP via Getty Images/AFP Contributor)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia merupakan negara yang berada di zona pergerakan lempeng bumi, sehingga tak bisa mengelak dari aktivitas tektonik dan vulkanik. Termasuk juga bagi warga Jakarta dan sekitarnya. 

Sekalipun teknologi semakin canggih, belum ada yang mampu memprediksi datangnya dua aktivitas tersebut. Maka, cara terbaik yang bisa dilakukan adalah belajar berdamai dengan alam lewat memahami mitigasi bencana. Salah satunya, mengenali tanda-tanda awal seperti suara gemuruh, sebagaimana pernah terjadi dalam gempa dahsyat tahun 1780.

Hitung mundur ke Sabtu 22 Januari 1780. Kala itu, masyarakat Jakarta (dulu Batavia) menjalani akhir pekan seperti biasa dengan aktivitas masing-masing. Tak ada yang berbeda dari hari Sabtu pada minggu sebelumnya.


Namun, itu semua berubah ketika waktu menunjukkan pukul 14.39 waktu setempat. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh hebat yang seakan terdengar dari langit. Seluruh warga heran dan bertanya-tanya.

Awalnya mereka mengira suara itu berasal dari gerobak yang mengangkut barang berat. Tapi, anehnya suara itu tak kunjung hilang dan di jalanan tidak nampak pula gerobak lewat. Sampai akhirnya, beberapa detik kemudian tanah bergetar hebat.

"Pada saat yang sama terjadi guncangan bergelombang dengan arah Timur-Barat," ungkap ahli geologi Jerman, Arthur Wichmann, dalam catatannya berjudul Die Erdbeben des Indischen Archipels bis zum Jahre 1857 (1918).

Bangunan-bangunan bergoyang hebat. Masyarakat berhamburan mencari perlindungan. Hingga akhirnya, getaran mereda pada pukul 14.42. Namun, bencana tidak berhenti di situ. Dua menit setelah guncangan usai, Gunung Salak di Buitenzorg (Bogor) mengeluarkan dentuman keras. Lalu Gunung Gede di dekatnya juga ikut menyemburkan asap tinggi.

Laporan koran Middelburgsche Courant (16 September 1780) menyebut, guncangan dalam kurun 3 menit itu meruntuhkan 27 bangunan di Jakarta. Sejumlah korban berjatuhan. Bahkan seorang bayi yang baru lahir dilaporkan tertimpa reruntuhan, meski beruntung masih selamat.

Di luar kota, kerusakan jauh lebih parah. Banyak rumah rata dengan tanah, sehingga membuat penghuninya mengungsi karena kehilangan tempat tinggal dan harta benda.

"Rumah-rumah tersebut hancur total karena mereka tidak dapat menyelamatkan barang-barang milik mereka, baik milik pribadi atau perabotan, dan terpaksa mengungsi. Gempa juga membuat kerusuhan hebat," ungkap koran berbahasa Belanda tersebut.

Pada masa itu, Jakarta memang belum dipenuhi gedung beton menjulang seperti sekarang. Bangunan masih didominasi kayu dengan fondasi sederhana. Lalu, Jakarta (Batavia) masih sebatas wilayah yang kini dikenal sebagai Kota Tua. Meski begitu, kota ini sudah menjadi pusat kekuasaan dan perdagangan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).

Beberapa hari kemudian, barulah diketahui gempa dahsyat itu tak hanya mengguncang Jakarta. Catatan Arthur Wichmann menyebut getaran dirasakan di hampir seluruh Jawa. Namun, yang paling kuat terjadi di bagian barat, khususnya Banten, Bogor (Buitenzorg), dan Cirebon.

"Gempa bumi yang terasa di seluruh Jawa dan kemungkinan juga hingga ke bagian barat Sumatra," ungkap Arthur.

Bahkan, kapal dagang berbendera Belanda, Willem Frederick, yang tengah berlayar di Selat Sunda ikut merasakan hempasan gempa laut. Istana Gubernur Jenderal di Bogor dikabarkan juga rusak parah.

Apa yang Terjadi Kala Itu?

Pada saat kejadian, catatan sejarah sangat minim sehingga jumlah korban jiwa maupun kerusakan bangunan tidak bisa dipastikan. Begitu juga dengan kekuatan dan penyebab gempa yang masih menjadi misteri.

Baru ratusan tahun kemudian, sejumlah penelitian mencoba merekonstruksi skenario gempa yang mengguncang pada Sabtu, 22 Januari 1780 itu. Salah satunya melalui riset kolaborasi ITB, BMKG, dan beberapa universitas berjudul Implications for Fault Locking South of Jakarta from an Investigation of Seismic Activity along the Baribis Fault, Northwestern Java, Indonesia (2022).

Studi ini menyimpulkan, gempa 1780 erat kaitannya dengan aktivitas Sesar Baribis.

"Sejarah menunjukkan bangunan di Batavia (kini Jakarta) pernah hancur oleh gempa bumi yang merusak pada 1699, 1780, dan 1834. Dua gempa terakhir terkait Sesar Baribis," tulis penelitian tersebut.

Sesar Baribis sendiri memanjang dari Purwakarta, Cibatu (Bekasi), Tangerang, hingga Rangkasbitung. Jika ditarik lurus dari Cibatu ke Tangerang, jalurnya diperkirakan melewati sejumlah kecamatan di Jakarta seperti Cipayung, Ciracas, Pasar Rebo, dan Jagakarsa.

Selain itu, ada pula penelitian lain berjudul Indonesia's Historical Earthquakes: Modelled Examples for Improving the National Hazard Map (2015) yang menguraikan skenario kejadian gempa tersebut.

Menurut hasil penelitian ini, gempa tahun 1780 diperkirakan memiliki magnitudo 7-8 yang bersumber dari aktivitas Sesar Baribis serta patahan lokal. Getaran yang muncul bahkan menghasilkan intensitas maksimum hingga skala VIII MMI (Modified Mercalli Intensity).

"Meskipun data yang tercatat untuk peristiwa ini terbatas, diperkirakan Batavia (Jakarta), Buitenzorg (Bogor), Bantam (Banten), dan Cheribon (Cirebon) mengalami guncangan tanah dengan intensitas masing-masing MMI 8, 7, 6, dan 3," ungkap tim riset.

Berdasarkan penjelasan BMKG, skala VIII MMI dapat menimbulkan kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi kuat. Selain itu, penelitian juga mengungkap suara gemuruh juga merupakan pertanda gempa dangkal. Akibat titik gempa yang tak jauh dari permukaan tanah, suaranya bisa terdengar hingga atas tanah. 

Dari perhitungan, 34 ribu orang diperkirakan tewas. Atas dasar ini, gempa 1780 disebut-sebut sebagai gempa terbesar yang pernah terjadi di Jawa. Setelah kejadian, gempa-gempa masih terus terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Paling dahsyat terjadi lagi pada 1834.

Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight diharapkan bisa membangun kesadaran dan kewaspadaan terhadap mitigasi bencana.

(mfa/mfa)