CNBC Insight

Pelajaran Jepang Usai Dihantam Gempa M7,9-Tewaskan 100 Ribu Orang

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
30 July 2025 13:55
Kombinasi gambar yang diambil dari rekaman kamera video langsung menunjukkan pantai segera setelah gempa bumi dahsyat melanda Semenanjung Kamchatka Timur Jauh Rusia (atas) dan setelah orang-orang dievakuasi menyusul peringatan tsunami, di Shirahama, prefektur Wakayama, Jepang barat, 30 Juli 2025, dalam gambar yang dirilis oleh Kyodo ini. (Kyodo/via REUTERS)
Foto: Kombinasi gambar yang diambil dari rekaman kamera video langsung menunjukkan pantai segera setelah gempa bumi dahsyat melanda Semenanjung Kamchatka Timur Jauh Rusia (atas) dan setelah orang-orang dievakuasi menyusul peringatan tsunami, di Shirahama, prefektur Wakayama, Jepang barat, 30 Juli 2025, dalam gambar yang dirilis oleh Kyodo ini. (via REUTERS/KYODO)

Jakarta, CNBC Indonesia - Gempa bumi berkekuatan M8,7 skala Richter mengguncang wilayah Kamchatka, Rusia, pada Rabu (20/7/2025). Gempa dangkal ini cukup kuat untuk memicu peringatan tsunami di sejumlah wilayah, termasuk Kepulauan Pasifik, Rusia, dan Jepang.

Mengutip The Guardian, peringatan tsunami telah dikeluarkan untuk Kepulauan Mariana Utara seperti Guam, Rota, Tinian, dan Saipan. Pemerintah Jepang yang wilayahnya cukup dekat dengan pusat gempa juga telah mengeluarkan peringatan darurat.

Masyarakat diminta menjauh dari pantai dan tidak memasuki laut, terutama di sepanjang garis pantai Pasifik. Sebab, gelombang tsunami setinggi satu meter diperkirakan akan menghantam mereka di Hokkaido, pulau paling utara Jepang, sekitar pukul 10.00 waktu setempat, lalu bergerak ke arah selatan antara pukul 10.30 hingga 11.30.

Sebagai respons cepat, pemerintah Jepang langsung melakukan evakuasi warga. Respons sigap ini mencerminkan kesiapan Jepang dalam menghadapi bencana alam. Namun, kesiapan tersebut bukanlah sesuatu yang hadir begitu saja.

Dahulu, Jepang justru dikenal abai terhadap ancaman bencana alam. Semua berubah ketika satu tragedi besar mengguncang negeri itu, yakni Gempa Kanto 1923, yang menewaskan 100 ribu orang. 

Dulu "Sepele", Kini Tanggap-Reaksi Cepat

Jepang merupakan negara paling sering mengalami gempa bumi karena berada di zona pergerakan lempeng tektonik. Menurut riset "A short history of Japanese historical seismology: past and the present" (2017), gempa pertama kali tercatat di Jepang pada tahun 416 Masehi. 

Pada masa itu, masyarakat belum memiliki perhatian khusus terhadap ancaman gempa. Tidak ada kebijakan mitigasi yang memadai karena jumlah penduduk masih sedikit dan bangunan belum banyak.

Akibatnya, setiap kali terjadi gempa, dampaknya dianggap sepele dan tidak terlalu mengganggu kehidupan sehari-hari. Namun, semua berubah drastis ketika Gempa Kanto mengguncang pada 1 September 1923.

Gempa bermagnitudo 7,9 itu hanya berlangsung selama 20 detik, tetapi dampaknya luar biasa. Ribuan bangunan ambruk dan kebakaran besar pun menyusul.

Dalam laporan "Earthquake Disaster Mitigation Policy in Japan" (2007), disebutkan, kondisi memburuk karena tidak ada satu pun bangunan yang mampu bertahan menghadapi bencana. Masyarakat juga tidak tahu harus berbuat apa saat gempa terjadi, sehingga membuat proses evakuasi kacau dan tidak terorganisir.

Akibatnya, lebih dari 100 ribu orang tewas dan jutaan lainnya luka-luka. Lalu, sekitar 570 ribu bangunan hancur. Kerugian mencapai 5,5 miliar yen hingga memicu Krisis Keuangan Jepang pada tahun 1927. 

Atas dasar ini, Gempa Kanto 1923 menjadi salah satu bencana terparah pada abad ke-20. Namun, bencana besar tersebut menjadi titik balik. Masyarakat dan pemerintah Jepang menyadari kekuatan gempa memang tak bisa dikendalikan, tapi dampaknya bisa dikurangi melalui kesiapan dan pengetahuan.

Sejak saat itu, Jepang mulai membenahi sistem mitigasinya. Pendidikan kebencanaan dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Anak-anak diajarkan cara melindungi diri, berpikir cepat saat bencana, dan membantu sesama dalam evakuasi. Kegiatan ini dilakukan rutin setiap bulan agar menjadi bagian dari kebiasaan.

Pemerintah juga menetapkan aturan baru dalam pembangunan infrastruktur. Semua bangunan harus tahan gempa dan dilengkapi jalur evakuasi. Di wilayah-wilayah rawan, dipasang alat pendeteksi gempa untuk mempercepat respons saat bencana terjadi.

Perubahan budaya ini tentu saja tidak instan. Butuh waktu dan konsistensi bertahun-tahun hingga masyarakat benar-benar tangguh menghadapi gempa.
Kini, hasilnya bisa dilihat dengan jelas. Jepang dikenal sebagai negara paling siap menghadapi gempa, seperti terjadi pada Gempa M8,7 di Kamchatka, Rabu (30/7/2025).

Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan dari masa lampau yang masih bisa dijadikan pelajaran di hari ini.

(mfa/mfa)

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular