
Pejabat RI Tak Korupsi Sampai Susah Bayar Listrik dan Beli Sepatu

Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus korupsi yang menjerat sejumlah pejabat di Indonesia kerap muncul akibat dorongan gaya hidup mewah. Fenomena ini sangat kontras dengan teladan yang diberikan pejabat tinggi negara sekaligus proklamator dan Wakil Presiden (Wapres) pertama RI, Mohammad Hatta.
Dia justru dikenal sederhana dan konsisten menolak menyalahgunakan uang negara.
Integritas Hatta dalam menjaga kesederhanaan dan menjauhi korupsi terlihat dari pilihan hidupnya. Selama menjabat sebagai Wapres pada 1945-1956, peluang untuk menggunakan fasilitas negara demi kepentingan pribadi sebenarnya sangat terbuka. Apalagi, pada masa itu sudah ada oknum pejabat yang melakukan praktik serupa.
Sejarawan Anhar Gonggong menuturkan bahwa praktik korupsi memang sudah ada, tetapi dilakukan secara individu.
"Bahwa sebenarnya korupsi yang dilakukan oleh orang-orang tertentu itu lebih banyak dilakukan oleh first only. Karena apa, partai kita kala itu masih dipimpin oleh orang-orang yang punya nilai moral tertentu dalam arti kata terdidik atau tercerahkan, seperti Sjahrir (red, Ketua Partai Sosialis Indonesia), Natsir (red, Ketua Partai Masyumi) dan sebagainya," ungkap Anhar Gonggong dalam Podcast Akbar Faisal, dikutip Kamis (27/8/2025).
Namun, Hatta dengan tegas menolak jalan itu. Banyak kisah hidup yang mencatat sikapnya tersebut.
Salah satu contohnya terjadi pada 1950-an, ketika Hatta tertarik pada sepatu Bally yang dilihatnya dari sebuah iklan. Harganya tergolong tinggi. Jika dia nekat membeli, keluarganya bisa sampai tak punya cukup uang untuk makan.
Pada masa itu, Hatta sudah tidak lagi menjabat Wapres. Uang pensiun yang diterimanya hanya Rp1.000. Nominal ini hanya cukup untuk kebutuhan pokok istri dan anak-anaknya. Atas alasan ini, membeli sepatu jelas bukan prioritas.
Akhirnya, Hatta hanya bisa menahan keinginan. Dia menggunting iklan sepatu tersebut lalu menyimpannya di buku harian sambil berandai-andai suatu hari bisa memilikinya.
Kondisi finansial Hatta sebagai pensiunan memang sering sulit. Tidak hanya tak mampu membeli sepatu Bally, dia juga kesulitan membayar listrik, air, hingga tagihan telepon bulanan. Meski uang pensiun dan honor sebagai pengajar tidak mencukupi, Hatta tidak pernah mengeluh.
Kesulitan ini membuat putrinya, Rahmi, sempat punya ide unik. Dalam Pribadi Manusia Hatta (2002) diceritakan, Rahmi ingin menyiapkan kotak uang agar para tamu bisa mengisinya saat datang berkunjung. Namun begitu mendengar itu, Hatta langsung marah, karena baginya tindakan tersebut sama saja dengan meminta-minta.
Melihat kondisi itu, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin merasa iba. Dalam otobiografinya Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi (2012), dia menuliskan bagaimana akhirnya pemerintah DKI menanggung semua tagihan rumah Hatta, termasuk listrik dan air.
Kendati demikian, bantuan itu tidak serta-merta membuat keuangan Hatta membaik. Ketika dia mulai sakit-sakitan dan memerlukan biaya besar untuk berobat, uang yang tersedia tetap tidak cukup. Pemerintah melalui Sekretariat Negara akhirnya menanggung seluruh biaya pengobatan Hatta di Belanda.
Meski demikian, Hatta merasa tidak nyaman. Walaupun sebenarnya berhak atas fasilitas tersebut sebagai mantan wapres, dia enggan menggunakan dana negara untuk kepentingan pribadi.
Alhasil, Hatta kemudian memakai tabungan pribadinya untuk mengembalikan biaya perjalanan dan pengobatan kepada negara. Meski pemerintah menolak, dia tetap bersikeras melunasi semuanya.
Prinsip hidup sederhana dan komitmen anti-korupsi Hatta terus dipegang hingga akhir hayat. Hingga wafat pada 1980, dia tidak pernah membeli sepatu Bally yang diimpikan dan tetap setia hidup dalam kesederhanaan.
(mfa/wur) Next Article Pejabat Ini Paling Dibenci Rakyat China Gegara Tukang Korupsi
