CNBC Insight

Pengadilan Vonis Mati Menteri RI karena Korupsi, Sita Semua Harta

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
27 August 2025 06:10
Ilustrasi Pengadilan. (Pexels)
Foto: Ilustrasi Pengadilan. (Pexels)

Jakarta, CNBC Indonesia - Publik dihebohkan oleh kasus korupsi yang melibatkan pejabat setingkat menteri. Terbaru, Kamis (22/8/2025), Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebezer (Noel), ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan pemerasan sertifikasi K3. 

Noel tentu saja bukan menteri pertama yang terlibat korupsi. Jauh sebelumnya sudah banyak menteri atau pejabat lain yang terjerat kasus serupa. Tapi, ada satu yang paling fenomenal, yakni kasus Jusuf Muda Dalam, yang divonis hukuman mati oleh pengadilan. Hukuman tersebut tercatat sebagai vonis mati pertama dan satu-satunya terhadap koruptor di Indonesia.

Korupsi Miliaran di Saat Rakyat Susah

Jusuf Muda Dalam (JMD) menjabat sebagai Menteri Urusan Bank Sentral pada 1963-1966 di Kabinet Kerja IV serta Kabinet Dwikora di bawah Presiden Soekarno (1945-1966). Selama masa jabatannya, dia bertanggung jawab mengelola keuangan negara dan merumuskan kebijakan perbankan. Namun, minimnya pengawasan kala itu membuat peluang korupsi terbuka lebar.

Pada Agustus 1966, skandal besar yang melibatkan dirinya pun terungkap. Dia menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain. 

Mengacu pada laporan kasus berjudul Anak Penyamun di Sarang Perawan (Skandal JMD) (1966), JMD terlibat pada empat perkara.

Pertama, JMD memberikan izin impor melalui skema Deffered Payment kepada perusahaan importir. Skema ini berupa penangguhan pembayaran kredit luar negeri hingga jangka waktu tertentu. Totalnya mencapai US$ 270 juta. 

Kedua, JMD juga memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan tertentu yang berujung pada membengkaknya defisit negara. Ketiga, JMD menggelapkan kas negara atau dana revolusi hingga Rp97,3 miliar. Keempat, JMD melakukan penyelundupan senjata tanpa izin dari Cekoslovakia.

Dana hasil kegiatan tidak terpuji itu digunakan untuk kepuasan pribadi. Diketahui, dia membeli rumah, tanah, perhiasan, mobil, hingga menghamburkannya kepada banyak perempuan. Diketahui ada 25 perempuan yang turut menikmati hasil korupsi. Padahal, dia sudah punya 6 istri. 

Skandal ini langsung menimbulkan kemarahan publik. Apalagi, saat itu kondisi ekonomi Indonesia sedang memburuk. Inflasi meroket dan harga bahan pangan melambung tinggi. Bayangkan, di tengah penderitaan rakyat, ada pejabat tinggi negara bernama Jusuf Muda Dalam yang justru melakukan hidup mewah dari hasil korupsi. 

Vonis Mati

Pada 30 Agustus 1966, kasus JMD dibawa ke pengadilan. Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Made Labde dengan dua hakim anggota. Untuk menelusuri aliran dana yang disalahgunakan, majelis menghadirkan banyak saksi.

Setiap persidangan pun selalu menyedot perhatian publik. Ruang sidang penuh sesak. Bahkan kerap riuh oleh sorakan ketika saksi maupun terdakwa memberikan keterangan. Harian Mertjusuar (3 September 1966) mencatat, suasana sidang nyaris selalu gaduh.

Sebab, dalam prosesnya JMD terus berkelit dari berbagai tuduhan. Kecuali ada satu hal yang diakuinya, yakni soal pernikahan hingga memiliki enam istri.

"Bapak hakim tentunya mengerti mengapa saya keburu kawin sampai enam kali, setelah melihat istri-istri saya yang wajahnya cantik ini," ujar JMD di hadapan majelis hakim.

Setelah berhari-hari, pada 8 Agustus 1966 majelis akhirnya mengetuk palu. 

"Dengan penuh keyakinan dan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan ini saya jatuhkan hukuman mati!" tegas Hakim Ketua Made Labde, dikutip dari koran Mertjusuar (10 September 1966).

Vonis ini didasari karena JMD terbukti menyalahgunakan jabatannya sebagai Menteri Urusan Bank Sentral untuk korupsi dalam skala besar. Kerugian negara pun mencapai miliaran rupiah. Selain itu, latar belakang politiknya ikut memberatkan.

Hakim menilai JMD berlatar komunis yang tercermin dari kebijakan internal di lembaga yang dipimpin, seperti mewajibkan menyanyikan lagu Internasionale, mengganti istilah "karyawan" menjadi "buruh," hingga mendukung ide persenjataan kepada buruh dan petani. Menurut hakim ini seperti dilakukan Partai Komunis Indonesia yang sudah dilarang pada tahun 1966. 

Vonis hakim juga disertai oleh penyitaan semua harta benda berupa 4 mobil mewah, 6 rumah, tanah, dan bangunan lain. Meski demikian, beberapa pihak menganggap vonis terlalu ringan. Ketua PBNU, KH Moch Dahlan, bahkan melontarkan komentar pedas.

"Hukuman mati bagi JMD semestinya tidak cukup satu kali, tapi hukuman mati tiga kali atau hukuman mati dengan dikerek ke tiang gantung di muka khalayak ramai," ujarnya kepada koran Mertjusuar (15 September 1966). 

Tak terima atas vonis ini, JMD sempat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada 8 April 1967. Namun, MA menolak dan menguatkan vonis mati tersebut.

Meski begitu, eksekusi itu tak pernah terlaksana. Pada September 1976, sebelum sempat menghadapi regu algojo, JMD meninggal lebih dulu di penjara akibat penyakit tetanus. Sampai sekarang, JMD tercatat sebagai koruptor pertama dan satu-satunya yang divonis mati di Indonesia.

Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan dari masa lampau yang masih bisa dijadikan pelajaran di hari ini.

(mfa/wur)

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular