CNBC Insight

Bongkar Korupsi Besar di RI, Jaksa Sederhana Ini Mendadak Meninggal

MFakhriansyah,  CNBC Indonesia
01 November 2025 11:15
Ilustrasi Korupsi. (Dok. Freepik)
Foto: Ilustrasi Korupsi. (Dok. Freepik)
Naskah ini bagian dari CNBC Insight, menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu.

Jakarta, CNBC Indonesia - Kejaksaan Agung dalam beberapa tahun terakhir berhasil mengungkap kasus korupsi besar di Tanah Air. Tentu saja, ini bukan pencapaian baru bagi lembaga penegak hukum itu.

Sebab sejarah mencatat Kejaksaan Agung berulangkali mengungkap kasus korupsi besar dan juga pernah memiliki sosok jaksa yang ditakuti para koruptor, yakni Baharuddin Lopa. Sayang, perjuangannya berakhir saat jaksa yang dikenal sederhana ini mendadak meninggal dunia di tengah penanganan kasus korupsi besar. Bagaimana ceritanya?

Musuh Para Koruptor

Baharuddin Lopa merupakan Jaksa Agung ke-17 Republik Indonesia. Dia memulai kariernya sebagai jaksa pada tahun 1958 di Kejaksaan Negeri Kelas I Makassar. Sejak awal, Lopa dikenal sebagai penegak hukum yang keras terhadap pelaku kejahatan, terutama korupsi dan penyelundupan. Dia tak gentar menindak kasus besar demi menyelamatkan uang negara.

Perjalanan kariernya diwarnai berbagai penugasan di daerah. Dari Sulawesi Selatan, dia sempat dipindahkan jauh ke Aceh. Menurut laporan Kompas (17 April 1983), pemindahan itu terjadi diduga karena Lopa berusaha menangkap salah satu kepala kantor wilayah.

Namun, Lopa tak mau ambil pusing dengan gosip tersebut. Baginya, yang penting adalah tetap bekerja. Toh, dia membuktikan berhasil mengungkap berbagai kasus penyelundupan kayu dan beras yang merugikan negara miliaran rupiah selama 3,5 tahun menjabat di Tanah Rencong. 

Baginya, dimanapun penugasan, menolong rakyat dan menegakkan keadilan harus dilakukan sekuat tenaga dan tidak boleh berhenti sebelum tercapai. Atas dasar inilah, dia tak gentar dan tak pandang bulu melawan penjahat.

Meski begitu, upayanya ini tak disenangi para koruptor dan penjahat. Dia sering menerima ancaman pembunuhan.

"Bila saya akan bertindak sesuatu, selalu saya berpegang bahwa nasib saya di tangan Tuhan. Yang penting kebenaran harus ditegakkan. Bahwa ada risiko yang mungkin menimpa saya, termasuk pembunuhan, itu sudah saya serahkan kepada Tuhan," katanya kepada Kompas (17 April 1983).

Keberanian dan integritas membuat karier Lopa terus menanjak hingga akhirnya diangkat sebagai Jaksa Agung oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada Juni 2001. Penunjukan itu datang di tengah tuntutan reformasi besar-besaran untuk membersihkan Indonesia dari praktik korupsi yang mengakar sejak era Orde Baru.

Menurut Suara Pembaruan (4 Juli 2001), sejak hari pertama menjabat, meja kerja Lopa langsung dipenuhi berkas penyelidikan kasus korupsi besar yang melibatkan pengusaha dan pejabat tinggi negara. Dia bekerja tanpa kenal waktu dari pagi hingga larut malam, sekalipun banyak orang tak senang. 

"Terlalu banyak orang yang ketakutan jika saya diangkat menjadi Jaksa Agung, sehingga logis jika orang ramai-ramai memotongi saya agar tidak menjadi Jaksa Agung," ungkapnya dalam buku Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum (2001). 

Sayang, masa tugasnya sangat singkat. Sebulan kemudian, tepat pada 2 Juli 2001, Lopa jatuh sakit saat menghadiri serah terima jabatan Duta Besar RI sekaligus menunaikan umrah. Dia mual, muntah, lalu tak sadarkan diri. Keesokan harinya, 3 Juli 2001, Baharudin Lopa meninggal dunia. Meski sempat muncul spekulasi atas penyebab kematiannya, dokter menyebut Lopa meninggal akibat serangan jantung yang dipicu kelelahan kerja.

Jaksa Sederhana

Selain dikenal karena ketegasannya, Baharudin Lopa juga disegani karena kesederhanaannya. Dia hidup jauh dari kemewahan. Rumahnya di Makassar sangat sederhana, tanpa perabot mahal. Begitu juga rumah di Jakarta.

Mobil pribadinya hanya satu, Toyota Kijang, dan dia melarang keluarga menggunakan mobil dinas untuk urusan pribadi. Atas dasar ini, dia berulangkali naik angkot untuk bepergian di akhir pekan. Bahkan, untuk membelikan ulang tahun cucunya, putra Mandar ini hanya membelikan mainan seharga Rp7.500.

"Kasirnya sampai heran dan berpikir hanya sosok menteri Lopa yang membelikan mainan sebagai hadiah dengan harga semurah itu," tulis buku Mata Batin Gus Dur (2017).

Berkat kesederhanaan itu, atasannya Jaksa Agung Ali Said mengungkap kalau Lopa memang miskin. 

"Tapi dia sendiri tetap miskin," ungkap Ali, dikutip Kompas (17 April 1983).

Atas kejujuran dan kesederhanaan itu, banyak orang menangis saat mengetahui dia wafat, termasuk Presiden Abdurrahman Wahid. Mayoritas orang sepakat Lopa seharusnya menjadi jaksa agung lebih awal lagi. Tidak hanya sebulan. Sebab dia menjadi sosok langka di tengah kerasnya dunia hukum dan politik Indonesia.


(mfa/mfa) Next Article Wapres RI Ini Sulit Uang, Susah Bayar Listrik-Sepatu Bally Tak Terbeli

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular