Wapres RI Ini Sulit Uang, Susah Bayar Listrik-Sepatu Bally Tak Terbeli
Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus korupsi yang menjerat sejumlah pejabat Tanah Air kerap terjadi karena dorongan gaya hidup berlebihan. Fenomena ini sangat berbeda dengan teladan proklamator sekaligus Wakil Presiden (Wapres) pertama RI, Mohammad Hatta, yang justru dikenal hidup sederhana dan menolak menyalahgunakan uang negara.
Integritas Hatta dalam hal kesederhanaan dan sikap anti-korupsi terlihat jelas dari jalan hidup yang dipilih. Selama menjabat dari 1945-1956, kesempatan Hatta sebagai Wapres RI untuk menggunakan uang negara demi kepentingan pribadi terbuka lebar. Bahkan, perilaku korupsi pun sudah dilakukan oleh segelintir pejabat pada masa itu.
Sejarawan Anhar Gonggong mengungkap sudah ada beberapa orang melakukan tindak korupsi, hanya saja dilakukan secara perseorangan.
"Bahwa sebenarnya korupsi yang dilakukan oleh orang-orang tertentu itu lebih banyak dilakukan oleh first only. Karena apa, partai kita kala itu masih dipimpin oleh orang-orang yang punya nilai moral tertentu dalam arti kata terdidik atau tercerahkan, seperti Sjahrir (red, Ketua Partai Sosialis Indonesia), Natsir (red, Ketua Partai Masyumi) dan sebagainya," ungkap Anhar Gonggong dalam Podcast Akbar Faisal, dikutip Senin (25/8/2025).
Namun, Hatta dengan tegas menolak melakukan praktik tak terpuji itu. Banyak kisah yang merekam hal ini.
Salah satunya terjadi pada 1950-an. Kala itu Hatta tertarik pada sepatu Bally yang dia lihat dari sebuah iklan. Harganya tergolong mahal. Tak diketahui pasti berapa jumlahnya, tetapi jika memaksakan diri membeli, keluarganya bisa sampai tak makan.
Saat itu, Hatta sudah pensiun dari jabatan wakil presiden. Uang pensiun yang diterimanya hanya Rp1.000. Nominal tersebut hanya cukup memenuhi kebutuhan dasar istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Atas dasar itu, kebutuhan sehari-hari jelas menjadi prioritas, bukan membeli sepatu.
Akhirnya, Hatta hanya bisa menahan keinginan sambil memandangi iklan sepatu Bally tersebut. Dia lalu menggunting gambar iklan itu dan menyimpannya di catatan harian, sambil berandai-andai suatu hari mampu membelinya.
Sebagai pensiunan, kondisi keuangan Hatta memang kerap sulit. Bukan hanya tak mampu membeli sepatu Bally, dia bahkan kesulitan membayar tagihan listrik, air, hingga telepon bulanan. Uang pensiun dan gaji dari mengajar belum mencukupi, tetapi Hatta tak pernah mengeluh.
Situasi ini pernah membuat putrinya, Rahmi, terpikir ide nyeleneh. Dalam Pribadi Manusia Hatta (2002) diceritakan, Rahmi ingin menyediakan kotak uang agar para tamu bisa mengisinya saat datang berkunjung. Mendengar itu, Hatta langsung marah karena sikap itu tindakan meminta-minta.
Melihat kesulitan tersebut, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin merasa prihatin. Seperti tertuang dalam otobiografinya Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi (2012), dia mencari cara untuk membantu sang proklamator. Akhirnya, atas nama Gubernur DKI, semua tagihan rumah Hatta ditanggung oleh Pemerintah DKI Jakarta, termasuk listrik dan air.
Namun, keringanan itu tidak serta-merta memperbaiki keadaan finansial. Ketika Hatta mulai sakit-sakitan dan membutuhkan biaya besar untuk berobat, dia tetap tak memiliki uang. Pemerintah melalui Sekretariat Negara kemudian berinisiatif menanggung seluruh biaya perjalanan dan pengobatan Hatta ke Belanda.
Meski begitu, Hatta merasa tidak nyaman. Dia enggan menggunakan dana negara untuk kepentingan pribadinya, walaupun sebenarnya sebagai mantan wakil presiden berhak atas fasilitas kesehatan dari negara.
Atas dasar ini, Hatta menggunakan tabungannya sendiri untuk mengembalikan biaya perjalanan dan perawatan tersebut kepada negara. Meskipun pihak pemerintah menolak, dia tetap bersikeras melunasi semua pengeluaran itu.
Prinsip kesederhanaan dan integritas anti-korupsi yang dipegang Hatta bertahan hingga akhir hayatnya. Sampai wafat pada 1980, dia tak pernah bisa membeli sepatu Bally itu dan tetap hidup dalam kesederhanaan.
(mfa/mfa)