CNBC Insight

Pemimpin Malaysia-RI Diam-Diam Bertemu, Bahas Rencana Penyatuan Negara

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
12 August 2025 11:00
Koalse foto bendera Indonesia dan bendera Malaysia. (AP Photo)
Foto: Koalse foto bendera Indonesia dan bendera Malaysia (AP Photo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Apa jadinya jika Indonesia dan Malaysia bersatu di bawah satu pemerintahan? Sulit dibayangkan jika hal itu benar-benar terjadi apalagi kini keduanya telah menjadi negara berdaulat di Asia Tenggara.

Namun, jarang orang tahu, ternyata tepat hari ini 80 tahun lalu kedua negara ternyata pernah memiliki rencana untuk menjadi satu negara berdaulat di bawah gagasan Negara Indonesia Raya.

Akan tetapi, rencana itu buyar ketika Indonesia terlebih dahulu memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. 

Pertemuan Senyap

Pada 12 Agustus 1945, tiga tokoh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat, dipanggil ke Dalat, Vietnam, oleh Marsekal Terauchi.

Dalam pertemuan, pemimpin tertinggi militer Jepang di Asia Tenggara itu menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia pada 24 Agustus 1945. Para tokoh nasional pun diminta mempersiapkan diri menyambut momen bersejarah tersebut.

Usai dari Dalat, rombongan Soekarno tidak langsung kembali ke Tanah Air. Pesawat mereka singgah di Singapura. Lalu melanjutkan perjalanan ke Taiping, Perak, untuk mengadakan pertemuan dengan tokoh nasionalis Melayu, Ibrahim Yaacob dan Burhanuddin Al-Helmy.

Ibrahim adalah tokoh pergerakan kemerdekaan Malaya. Pada 1937, dia mendirikan Kesatuan Melayu Muda (KMM) yang berupaya membebaskan Malaya dari kolonialisme Inggris. Salah satu opsi perjuangannya adalah menyatukan Malaya dengan Indonesia.

Menurut Boon Kheng Cheah dalam Red Star Over Malaya: Resistance and Social Conflict During and After the Japanese Occupation of Malaya, 1941-1946 (1983), Ibrahim dan Burhanuddin mendirikan Kekuatan Rakyat Istimewa (KRIS) pada Juli 1945 sebagai sayap organisasi KMM.

Belakangan, Ibrahim mengubah kepanjangan KRIS menjadi Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung dengan tujuan yang sama, yakni memerdekakan Malaya dari Inggris dan menggabungkannya ke Indonesia.

Kabar kedatangan rombongan Indonesia di Singapura disambut meriah para aktivis KMM dan KRIS. Mereka mengibarkan bendera merah putih dan datang langsung ke bandara untuk menyambut.

Aktivitas ini tentu tidak luput dari pengawasan dan restu Jepang. Menurut Graham Brown dalam riset "The Formation and Management of Political Identities" (2005), gagasan Negara Indonesia Raya, yang mencakup Hindia Belanda (Indonesia), Malaya (Malaysia dan Singapura), serta Kalimantan Utara (Brunei), merupakan salah satu bentuk kolaborasi antara tokoh pribumi dan pemerintah Jepang.

Di Perak, Soekarno dan rombongan disambut langsung oleh Ibrahim Yaacob, para petinggi KMM, serta Jenderal Jepang bernama Umezu. Dalam pertemuan itu, sebagaimana dipaparkan Byungkuk Soh dalam "Ideals without Heat: Indonesia Raya and the Struggle for Independence in Malaya" (2005), Soekarno berkata:

"Mari kita ciptakan satu tanah air bagi mereka yang berdarah Indonesia."

Ibrahim pun menjabat tangan Soekarno sambil menjawab:

"Kami orang Melayu akan setia menciptakan tanah air dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka."

Usai pertemuan, rombongan makan siang bersama lalu kembali ke bandara untuk melanjutkan penerbangan menuju Indonesia.

Berakhir Batal

Menurut penelusuran Boon Kheng Cheah dalam Red Star Over Malaya: Resistance and Social Conflict During and After the Japanese Occupation of Malaya, 1941-1946 (1983), gagasan Indonesia Raya ternyata tidak sepenuhnya disetujui oleh rombongan Indonesia.

"Sumber lain yang hadir dalam pertemuan di Taiping menyebut, Hatta dan rombongan delegasi, kemungkinan termasuk Radjiman, menolak gagasan persatuan Indonesia Raya," tulis Boon.

Terlepas dari pro dan kontra, rencana Indonesia Raya pada akhirnya tak pernah terwujud. Sekitar 2-3 hari setelah pertemuan senyap itu, tepatnya pada 14 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu.

Kabar tersebut memicu reaksi cepat dari para pemuda yang tergabung kelak disebut sebagai Golongan Muda. Mereka mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.

Akibat bersikeras menunggu janji kemerdekaan Jepang pada 24 Agustus, keduanya diculik para pemuda ke Rengasdengklok. Setelahnya, kita tahu pada 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya lebih cepat dari rencana semula.

Dengan begitu, skenario Indonesia Raya atau persatuan Indonesia-Malaysia, yang disusun Jepang pun kandas. Ibrahim sendiri harus menyusun kembali skenario kemerdekaan Malaysia. Meski begitu, Malaysia sendiri baru merdeka 12 tahun setelah Indonesia, yakni pada 31 Agustus 1957. 

Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan dari masa lampau yang masih bisa dijadikan pelajaran di hari ini.

(mfa/sef) Next Article Bantu Orang Tua Jualan di Pasar, Pria Malaysia Punya Harta Rp36 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular