7 Ton Emas RI Dijual ke Pusat Judi Dunia, Pemerintah Untung Triliunan
Jakarta, CNBC Indonesia - Keberadaan kas negara sangat penting bagi kelangsungan negara. Dari situlah pemerintah dapat menjalankan berbagai program dan kebijakan. Namun, apa jadinya jika kas negara kosong? Itulah yang terjadi di Indonesia 80 tahun silam.
Pada masa awal kemerdekaan, pemerintah nyaris tak memiliki uang untuk menjalankan roda pemerintahan. Situasi semakin pelik karena pada saat bersamaan Indonesia juga harus berperang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda.
Dalam kondisi darurat itu, pemerintah mengambil langkah berisiko, yakni menjual secara diam-diam sumber daya alam ke luar negeri, termasuk emas. Menurut Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia 1945-1948 (1991), langkah ini diambil untuk mengisi kas negara, tetapi prosesnya harus dilakukan secara rahasia.
Sebab, Belanda juga mengincar sumber daya tersebut untuk membiayai perang. Artinya, jangan sampai semua itu jatuh ke tangan Belanda. Atas dasar ini, sejarawan Bambang Purwanto dalam Dunia Revolusi (2023) mencatat, praktik penyelundupan pada masa itu merupakan hal lumrah, mulai dari emas hingga narkoba.
Emas yang diselundupkan berasal dari tambang Cikotok di Banten. Setelah diolah di pabrik emas Jakarta, logam mulia itu dipindahkan ke Yogyakarta. Ini terjadi seiring berpindahnya ibu kota Indonesia usai Jakarta jatuh ke tangan Belanda lewat Agresi Militer I (1947).
Pemindahan emas dilakukan secara senyap menggunakan kereta api. Pengiriman awal mencapai 5 ton, tetapi seiring waktu totalnya terus bertambah. Setibanya di Yogyakarta, sebagian emas digunakan untuk membeli senjata dan logistik perang.
Namun, pada 1948, Belanda kembali melancarkan Agresi Militer II dan berhasil menduduki Yogyakarta. Presiden Soekarno ditangkap, sementara pemerintahan dipindahkan ke Sumatera Barat secara darurat.
Di Yogyakarta, masih tersisa sekitar 7 ton emas batangan. Membawanya ke Sumatera Barat tentu bukan perkara mudah. Para pejuang akhirnya memutuskan untuk menyelundupkan atau menjual diam-diam emas tersebut ke luar negeri agar tidak jatuh ke tangan Belanda.
Diplomat Indonesia Aboe Bakar Lubis dalam Kilas Balik Revolusi (1992) menceritakan, emas diangkut dengan truk dan gerobak sapi yang ditutupi dedaunan. Tujuannya agar tak terdeteksi oleh tentara Belanda atau mata-mata.
Perjalanan dimulai dari kantor pusat Bank Nasional Indonesia di Yogyakarta menuju Bandara Maguwo sejauh 10 kilometer. Dari sana, emas diterbangkan dengan pesawat tempur, singgah di Filipina, sebelum mendarat di Makau.
Alasan mengirim emas itu ke Makau karena kota itu sudah dikenal sebagai pusat judi dunia. Banyak kasino besar berdiri di sana dengan perputaran uang besar. Besar harapan, seluruh emas milik Indonesia laku di sana.
Benar saja, sesampainya di Makau, emas seberat 7 ton laku terjual seharga Rp140 juta. Nominal ini sangat besar pada masanya. Jika dikonversikan ke harga emas saat ini, nilainya mencapai triliunan rupiah. Pemerintah langsung cuan besar.
Dana hasil penjualan emas digunakan untuk membiayai perjuangan diplomasi di luar negeri, termasuk operasional para diplomat dan kantor perwakilan Indonesia di berbagai negara. Sejarah kemudian mencatat, berkat kepiawaian para diplomat tersebut, Indonesia mendapatkan pengakuan dan dukungan internasional dari berbagai negara dan lembaga global.
(mfa/wur)