CNBC Insight

Tangan Kanan Presiden AS Marah dan Kesal Dikerjain Presiden RI

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Minggu, 10/08/2025 16:00 WIB
Foto: Kolase bendera Indonesia dan Amerika Serikat (AS). (AP Photo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Selama puluhan tahun menjalin hubungan diplomatik, tangan kanan Presiden Amerika Serikat (AS) pernah dikerjai oleh Presiden Indonesia. 

Orang itu adalah Marshall Green yang kemudian ditugaskan Presiden Lyndon Johnson (1963-1969) sebagai Duta Besar AS untuk Indonesia sejak 26 Juli 1965. Dalam penugasan di Indonesia, Green pernah dikerjai dan dipermalukan di depan umum oleh Presiden Soekarno.

Soekarno sejatinya tidak menyukai kehadiran Green sebagai utusan diplomatik Washington di Jakarta. Pasalnya, Green dikenal punya reputasi kontroversial. Di setiap negara tempat dia ditugaskan, tak lama kemudian selalu terjadi kudeta.


"Marshall Green yang berperan dalam penggulingan PM Mossadegh dari Iran yang menasionalisasi perusahaan minyak Abadan pada tahun 1956. Dia juga berperan dalam penggulingan Presiden Syngman Rhee di Korea Selatan pada tahun 1960," tulis Duta Besar RI di Uni Soviet, Manai Sophiaan, dalam Kehormatan Bagi yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI (1994).

Pada waktu bersamaan, sentimen Soekarno terhadap AS juga sedang meninggi. Dalam autobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965), proklamator itu bercerita bagaimana Indonesia merasa dipermainkan oleh AS lewat bantuan-bantuannya yang banyak syarat.

"Bertahun-tahun lamanya aku sangat ingin menjadi sahabat Amerika, tetapi mereka tak menerimaku. Amerika berulang-ulang salah mengartikan bantuan asing dengan persahabatan," ungkap Soekarno.

Atas dasar ini, saat Green bertugas di Indonesia, sentimen Soekarno langsung terasa. Saat prosesi penyerahan surat kepercayaan di Istana Negara, presiden secara terang-terangan mengecam kebijakan politik luar negeri AS di hadapan Green dan para duta besar lain. 

Menurut kesaksian anggota Tjakrabirawa (kini Paspampres), Maulwi Saelan, Green tampak kesal dan nyaris keluar ruangan, tetapi urung dilakukan dan tetap bertahan sampai acara selesai. 

"Marshal Green pura-pura tidak mendengarkan serangan Bung Karno," tutur Maulwi dalam memoarnya Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66 (2001).

Namun, kejadian paling panas terjadi pada 28 September 1965. Saat itu, Green diundang Soekarno untuk menghadiri peletakan batu pertama Universitas Indonesia di Ciputat.

Dia datang bersama Duta Besar Meksiko dan duduk di panggung kehormatan. Di tengah acara, pria kelahiran 6 Juni 1901 itu tiba-tiba membawa durian ke panggung dan menyodorkannya langsung ke Green. 

Sang diplomat, seperti kebanyakan orang AS, tidak menyukai durian karena bau dan menjijikkan. Bagi Green, Soekarno mengetahui ketidaksukaan ini dan secara sengaja ingin membuat malu. 

Parahnya, Soekarno meminta paduan suara mendesaknya untuk segera memakan durian. 

"Soekarno memimpin mahasiswa berteriak "makan, makan, makan!," kenang Green dalam memoarnya Dari Sukarno ke Soeharto: G30S-PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar (1992). 

Akibat terdesak oleh suasana dan demi menjaga wibawa negara adidaya, Green akhirnya memakan durian tersebut dalam kondisi tertekan. 

Tak hanya soal durian, Green juga pernah dibuat takut oleh undangan Soekarno ke Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Wilayah ini dikenal lekat dengan legenda Nyi Roro Kidul, sang ratu penguasa laut selatan.

Pelukis Nyi Roro Kidul, Basoeki Abdullah, dalam Basoeki Abdullah: Sang Hanoman Keloyongan (2023), menceritakan, tahun 1965 ada pejabat tinggi dari kedutaan Bulgaria yang tewas terseret arus ombak di Pantai Pelabuhan Ratu.

"Ternyata, pejabat itu mengenakan pakaian dalam yang semuanya berwarna hijau," kenang pelukis tersebut.

Green yang semula tak percaya mitos kutukan seperti itu mendadak panik. Dia mulai berpikir, tanpa perlu berpakaian hijau, dirinya mungkin sudah cukup mengundang bahaya.

Sebab, namanya adalah Green yang dalam bahasa Indonesia berarti hijau. Disebut-sebut, hijau merupakan warna kesukaan Nyi Roro Kidul. Makanya, dia selalu ogah berlibur ke Pantai Selatan Jawa, khususnya Sukabumi, sekalipun diajak langsung oleh orang nomor satu di Indonesia. 

Marshall Green sendiri tercatat bertugas menjadi Duta Besar di Jakarta sampai 1969. Dia menjadi saksi mata langsung kejatuhan Soekarno dan kenaikan Soeharto sebagai Presiden ke-2 RI. Lagi-lagi, posisi ini menambah daftar panjang reputasinya di mana di setiap negara tempat dia ditugaskan, tak lama kemudian selalu terjadi kudeta.

Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan dari masa lampau yang masih bisa dijadikan pelajaran di hari ini.

(mfa/wur)