Retno Marsudi Blak-blakan soal G20, Kamboja, dan LCS
Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia tengah bergejolak. Berbagai tantangan silih berganti pada tahun ini, mulai dari memanasnya tensi geopolitik hingga tekanan besar ekonomi global.
Indonesia pun memiliki peran yang cukup sentral di tengah gejolak tersebut. Bagaimana tidak, Indonesia pada tahun ini bertindak sebagai Presidensi G20, kelompok negara yang diisi oleh sejumlah kekuatan besar di dunia, baik secara politik maupun ekonomi.
Seperti diketahui, Pandemi Covid-19 yang memporak-porandakan ekonomi global telah diperparah dengan geopolitik dunia dan ancaman perang dunia ketiga antara Rusia-Ukraina serta memanasnya hubungan China dengan Amerika Serikat soal Taiwan. Krisis energi dan pangan yang menyebabkan inflasi tak bisa dihindari oleh berbagai negara.
Lalu bagaimana pemerintah menjawab sejumlah tantangan besar tersebut? Berikut petikan dialog bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam segmen khusus Economic Update di program Power Lunch CNBC Indonesia, Jumat (12/8/2022).
Seperti apa pencapaian kinerja di semester pertama 2022 dari Kemenlu, khususnya terkait upaya-upaya diplomasi yang dilakukan di tengah gejolak geopolitik saat ini?
Kalau kita bicara mengenai diplomasi, terkadang bayangan kita itu adalah fokus untuk menangani isu-isu yang hanya terkait pada isu politik luar negeri, geopolitiknya. Tetapi dari waktu ke waktu, makin ke sini, kita melihat bahwa hubungan diplomasi luar negeri itu dijalankan banyak kaitannya dengan upaya kita untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi kita dan itu dilakukan oleh semua negara, termasuk Indonesia.
Sehingga pada saat diplomat Indonesia bicara, maka bicaranya harus juga paham dan mencoba menjadi bagian dari solusi untuk masalah-masalah ekonomi. Jadi intinya adalah bagaimana kita menjadikan diplomasi Indonesia relevan dengan kepentingan atau apa yang diperlukan oleh rakyat kita pada saat itu. Itu adalah dasarnya.
Lalu terkait masalah pencapaian, saya ingin menggarisbawahi tidak hanya pada semester pertama 2022, tetapi bagaimana diplomasi bergerak selama pandemi Covid-19. Misalnya pada masa pandemi, kita mengingat pernah berkejaran hanya untuk mendapatkan vaksin. Alhamdulillah manajemen vaksin kita bagus, vaksin yang kita peroleh jumlahnya juga mencukupi.
Per saat ini kita sudah memperoleh lebih dari 510 juta vaksin, 130 juta, atau 25,59% di antaranya adalah vaksin yang kita peroleh secara gratis. Vaksin gratis ini kita peroleh melalui COVAX dan bilateral antar negara.
Sehingga pada saat pandemi ini, kalau saya bicara dengan para menlu negara lain, teman-teman saya, itu membicarakan terkait masalah kesehatan. Bicara mengenai masalah vaksin, obat-obatan, mengenai pencegahan atau memperkokoh persiapan kita untuk menghadapi pandemi yang akan datang dan lainnya.
Pada saat kita bicara, kita langsung berada di dalamnya. Misalnya saya menjadi salah satu co-chair untuk COVAX AMC Engagement Group, di mana dari 2021 dan 2022, COVAX sudah memberikan 1,35 miliar dosis vaksin yang sebagian besar diberikan secara cuma-cuma kepada 92 negara di dunia.
Sementara pada saat perang, isu yang paling menonjol adalah kenaikan harga energi dan pangan. Lalu di mana Indonesia berada? Indonesia, dalam hal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi), menjadi salah satu champion-nya Sekjen PBB untuk Global Crisis Response Group yang intinya adalah memberikan telaah dan rekomendasi apa yang harus dilakukan dalam mengatasi krisis energi dan pangan.
Jadi kita (Indonesia) aktif dengan Sekjen PBB untuk memberikan asesmen dan sebagainya dan salah satu yang dilakukan Presiden (Jokowi) pada saat berkunjung ke Kyiv, Ukraina dan Moskow, Rusia itu juga membahas bagaimana mengatasi stuck-nya ekspor gandum, terutama dari Ukraina dan ekspor pupuk serta gandum dari Rusia.
Indonesia berusaha untuk menjadikan diplomasi relevan dengan kebutuhan rakyat pada satu saat dan contoh dari saya tadi adalah pandemi dan perang Rusia-Ukraina yang menaikan harga energi dan pangan, di mana menjadi salah satu contoh bagaimana diplomasi bekerja.
Saat ini ketahui bahwa ketegangan antara Rusia-Ukraina masih terus berlanjut dan menyeret Amerika Serikat. Terkait dengan kondisi geopolitik saat ini, seperti apa Indonesia bisa tetap menjaga hubungan yang baik dengan mitra-mitra utama, terutama mitra dagang strategis AS, Rusia, Ukraina?
Saya mulai dari politik bebas aktif. Banyak pihak yang mengatakan politik bebas aktif itu masih relevan atau tidak. Saya justru sampaikan saat ini lebih relevan dari sebelumnya. Kita tahu makna bebas seperti apa, di mana Indonesia memiliki keleluasaan untuk melakukan manuver dalam memperjuangkan kepentingan nasional kita.
Di satu titik mungkin kita harus bekerja sama dengan negara A, B, C karena mereka memang memiliki kekuatan di satu bidang tertentu. Maka bekerja sama lah kita dengan mereka. Di titik lain, kita harus bekerja sama dengan negara D, E, F. Kita lakukan kerja sama dengan D, E, F bukan berarti kita bermusuhan dengan negara A, B, C. Sekali lagi, Indonesia bebas melakukan manuver dalam rangka memperjuangkan kepentingan kita.
Kemudian aktif, artinya kita harus selalu aktif dalam berkontribusi untuk perdamaian dan kemakmuran dunia. Beberapa contoh sudah sampaikan, di tengah situasi yang sulit pun, pada saat kita juga sedang menghadapi masalah sekaligus bisa bisa mengatasi masalah kesehatan di dalam negeri sekaligus kita aktif di luar negeri dengan kontribusi kita melalui COVAX.
Nah, jadi itulah gambaran dari sebuah politik luar negeri bebas aktif dijalankan, bahkan di masa-masa sulit, untuk memperjuangkan kepentingan kita.
Indonesia, alhamdulillah, berteman dengan semua negara, memiliki teman yang sangat banyak. Hampir semua negara di dunia berteman baik dengan Indonesia. Tapi tentunya, sekali lagi, pada saat kita bekerja sama, yang paling penting adalah kerja sama yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
(luc/luc)