
Menkes BGS Bicara Sederet Upaya RI Bebas dari Pandemi Corona

Apa yang menyebabkan lonjakan kasus Covid-19 beberapa waktu belakangan?
Varian delta tinggi, penularan tinggi. Seperti India, delta, Israel, varian delta lebih tinggi. Kasus konfirmasi tinggi selama masih di bawah faskes tidak masalah. Fatalitas penyakit ini tidak lebih tinggi dari varian sebelumnya. Dari 100 yang kena, secara empiris 80% bisa isoman 14 hari sembuh Kemudian 20% perlu masuk RS. Selama 20% tetap mendapatkan layanan kesehatan, fatality penyakit ini lebih rendah dari HIV dan TBC. Kasus aktif cuma 100 ribu, 20%. Padahal tempat tidur ada 400 ribu di Indonesia.
Total tempat tidur RS di RI 400 ribu. Waktu sebelum Lebaran 75 ribu saja buat covid-19. Padahal di awal tahun siapkan 30 ribu. Kita siapkan 75 ribu karena yang masuk rendah. Kita punya room 130 ribu hingga 150 ribu bed untuk pasien.
Pemerintah sudah menyiapkan sejumlah rusun seperti Rusun Nagrak untuk mengatasi lonjakan pasien Covid-19?
Kalau Pasar Rumput, Nagrak, Wisma Atlet itu terpusat. Buat orang-orang tanpa gejala, tak perlu masuk RS. RS hanya dipakai orang-orang yang gejala berat. Kalau ringan bisa isoman. Dari 100 orang, 80% perlu isoman. Masuk RS hanya 20%. Kalau sakit tidak perlu panik.
Jika saturasi di atas 94, tidak sesak dan tidak ada komorbid, mendingan isolasi di rumah saja. Karena masuk RS kadar virusnya tinggi sekali. Kalau saturasi di bawah 94, ada sesak napas dan komorbid sebaiknya ke RS.
Pemerintah juga mulai menginisiasi telemedicine gratis bagi pasien Covid-19. Apakah efektif?
Dari 100 orang yang kena, 80 tidak perlu ke RS. Tapi saya memahami. Jika postif jangan panik. Sekarang buka layanan pilot project. Laboratorium dan telemedicine. Jika tes lab positif dan laboratorium terkoneksi dengan Kemenkes itu akan menghubungkan ke telemedicine. Kalau positif, cukup isoman, kalau harus ke RS akan diarahkan. Dengan demikian semua orang tidak perlu panik. Yang penting saturasi jangan di bawah 94%.
Alokasi anggaran dari Kemenkes bagaimana?
Anggarannya ada Rp 85 triliun. Walau sebagian untuk subisid BPJS sekitar Rp 40 triliun lebih. Kita ditambah ibu menkeu (Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati) melalui KPCPEN sebesar Rp 131 triliun. Dikasih tapi diberikan ke Kemenkes, BNPB dan pemda. Di dalamnya ada vaksinasi, testing, tracing, insentif nakes dan pembayaran klaim untuk RS.
Isu terkait insentif tenaga kesehatan masih menjadi masalah?
Pertama waktu saya masuk akhir 2020 ada tunggakan. Mau bayar 2021 ada proses audit BPKP Rp 1,84 triliun. Sekarang yang sudah diselesaikan Rp 1,44 triliun. Sudah hampir semua selesai.
Catatan kami anggaran yang diberikan melalui Kemenkes, berlaku nakes di RS umum pemerintah, RS TNI, RS Polri, BUMN dan swasta. Kelima jenis RS ini pembayaran insentif melalui anggaran Kemenkes. Yang banyak adalah tenaga kesehatan di RSUD. Anggaran tidak diberikan Kemenkes. Diberikan Kemenkeu kepada pemda. Ini yang kadang-kadang nakes bingung.
Catatan kami 2020, Rp 1,84 triliun, yang Rp 1,44 T sudah selesai. Untuk 2021, Rp 3,79 triliun di mana Rp 3,4 T sudah siap, sudah dibayar Rp 3 triliun. Pencapaian insentif sudah cukup baik. Catatannya Kemenkes membayar untuk dokter dan nakes pusat, RS TNI, polri, dan swasta. Kalau RSUD langsung oleh daerah.
Bagaimana dengan tunggakan klaim RS?
Ada 1 isu tunggakan RS, dibayarkan ke individu dan ke RS. Kalau sudah perawatan dan sudah klaim. Saya masuk di Desember, sudah disiapkan melunasi tagihan 2020 Rp 8 triliun dan untuk 2021 Rp 23 triliun.
Pada 2021 tidak masalah, sudah bayar rutin per bulan. Yang masalah tunggakan 2020 Rp 8,8 triliun. Karena itu tahun lalu, harus diaudit BPKP sebelum bisa dibayarkan. Kita sudah bayar Rp 5,6 triliun masih ada tunggakan 2020 klaim RS yang masuk Januari-Februari, kita setop di Mei. Dari Rp 8,8 triliun menjadi Rp 22 triliun. Padahal dianggarkan baru Rp 8 triliun.
Bagaimana tanggapan terkait dengan harga obat yang saat ini menjadi sorotan?
Saya memahami masyarakat panik. Harga dolar naik, orang panik beli dolar. Padahal sebelumnya tidak perlu dolarnya. Akibatnya dolar langka. Itu juga terjadi di obat. Obat yang ada di list, kemudian ada remdesivir, harus dengan resep dokter. Bukan obat seperti Vitamin C dikonsumsi bebas. Ini ada dampaknya.
Yang terjadi, entah bagaimana, semua merasa khawatir, bisa jadi dokter sehingga beli obat-obatan ini. Kita sedang perbaiki kok obat bisa dibeli, harusnya tidak bisa dibeli umum. Akibatnya semua keluarga stok. Sekarang obatnya ada di rumah yang orang sehat, sehingga kekurangan, harga naik mahal.
Terkait vaksin, ada stigma negatif muncul terkait efek samping, seperti apa langkah untuk menghilangkan stigma tersebut?
Memang saya melihat media berubah sekali. Dulu orang baca koran, orang sekarang lihat Twitter, FB, IG dan WA group. Akibatnya informasi yang masuk belum semua benar. Vaksin ini mengubah RnA, DnA, saya pikir tidak mungkin. Presiden AS, Raja Arab disuntik dengan seperti itu.
Entah bagaimana penyebarannya, orang jadi terbawa. Kemenkes, dibantu media, untuk edukasi untuk jangan cepat percaya dan forward WA. Biarkan ahlinya bekerja. Biarkan orang-orang yang bekerja di bidang medis. Kalau tidak, akan memperkeruh keadaan.
[Gambas:Video CNBC]
