The Inspiring Woman
CFO DBS Indonesia Minarti: Belajar & Adaptif Kunci Kesuksesan

Jakarta, CNBC Indonesia- Perempuan di Indonesia banyak yang memiliki potensi dan kemampuan besar untuk menjadi pemimpin. Sayangnya, masih banyak halangan yang mengganjal perempuan untuk memegang peran penting di industrinya masing-masing.
Alasannya pun beragam, seperti kendala sistem, aturan, akses, terutama kesempatan.
Meski masih banyak halangan, cukup banyak perempuan yang kini ada di puncak kepemimpinan baik di perusahaan ataupun organisasi. Salah satunya, Chief Financial Officer Bank DBS Indonesia, Minarti, yang telah berkarir di industri perbankan selama 25 tahun.
Awal perjalanan karirnya pun sempat diterpa badai krisis pada 1997-1998, namun dia tidak menyerah dengan terus belajar dan berkarya. Hingga akhirnya dipercaya memimpin sebuah tim kecil, dan beranjak naik ke posisinya saat ini.
Dia juga memberikan inspirasi kepada perempuan untuk terus belajar dan menggapai mimpi, dengan menceritakan perjalanan karirnya dan peran pentingnya di perusahaan.
Berikut petikan lengkap dialog inspiratif CNBC Indonesia, The Inspiring Woman:
Perempuan semakin banyak duduk di puncak kepemimpinan, termasuk di Indonesia yang menjadi peringkat ke-7 di dunia. Bagaimana perjalanan menjadi pemimpin?
Selama 25 tahun di dunia perbankan buat saya very rewarding, karena itu menjadi path saya sebagai wanita dan warga negara Indonesia untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Dari sisi perbankan menyediakan fungsi intermediasi dimana membantu sektor riil bertumbuh. Saya 25 tahun tidak seperti sekarang, tapi dari bawah dulu.
![]() |
Biasanya pemimpin yang tidak dari bawah tidak dekat dengan karyawannya, tetapi dari cerita yang saya dengar Anda dekat dengan karyawan. Bagaimana kiatnya?
Saya rasa, karena berangkat dari bawah sampai akhirnya mencapai pucuk pimpinan, karena saya juga anak daerah. Saya dari Kalimantan kemudian merantau kuliah di Yogyakarta, selesai kuliah merantau lagi di Jakarta. Jadi di Jakarta berjuang mulai dari melamar pekerjaan, melihat pekerjaan mana yang cocok, hingga akhirnya tercantol di bank.
Sama seperti anak yang baru lulus, tidak terlalu banyak ada rencana seperti apa, tetapi yang paling penting bagaimana supaya bisa mandiri di Jakarta dan tidak bergantung pada orang tua. Habis lulus kuliah masih minta uang ke orang tua kan agak malu.
Akhirnya masuk ke banking 1996, kemudian bekerja di bagian finance langsung di bank asing. Setahun kemudian Indonesia mengalami krisis, dan ini menjadi pembelajaran luar biasa buat saya.
Bagaimana cara untuk bisa menjadi berada di puncak kepemimpinan?
Kalau saya melihat, kuncinya saya melihat kalau yang pintar banyak. Banyak yang memiliki nilai akademis yang bagus. Bahkan ketika masuk di perbankan bukan hanya lulusan lokal, saingannya dari lulusan Amerika Serikat dan Australia, jadi banyak saingannya. Jadi begitu diterima saya memiliki komitmen bagaimana kita memberikan komitmen pada pekerjaan kita. Jadi jobdesk kita misalnya A sampai B, tetapi saya tidak mau hanya menguasai A dan B melainkan apa yang bos saya lakukan.
Kalau bos saya melakukan C, mungkin awalnya saya memperhatikan dia bagaimana dia melakukan itu kemudian langkah selanjutnya saya perform C juga. Jadi memang harus belajar.
Ketika menjadi pemimpin kan tidak mudah, apakah ada role model ketika mulai memimpin?
Role model saya ibu saya, meski bukan wanita karir tetapi ibu saya ibu rumah tangga dan anaknya sembilan. Papa saya sangat tradisional, yang mengurusi bisnis dan pekerjaan itu papa saya, jadi mama saya mengurusi 9 anak. Manajemennya luar biasa, mengurus 9 anak dimana medicalnya kurang ketika anak sakit harus berjuang mencari dokter dari kampung lain menggunakan perahu.
Kenapa Bank DBS Indonesia bisa mendapatkan award 'best employee', padahal itu jarang sekali bank. Bagaimana caranya?
Di DBS Indonesia kita punya komitmen kepada pekerja kita sangat besar. Employee menurut DBS menjadi aset yang paling utama karena isinya orang-orang yang bisa mencapai tujuan kita. Jadi ketika pandemi terjadi kita sebagai institusi harus membantu karyawan kita bagaimana beradaptasi dengan cara kerja yang baru.
Dengan adaptasi cara kerja yang baru bukan berarti ditinggalkan kerja di rumah diurusin mereka sendiri, tetapi kita harus membantu mereka bagaimana infrastrukturnya. Misalnya yang sederhana Wifi, apakah mencukupi atau tidak, tidak semua orang memiliki. Jadi mereka bisa tambahin benefit untuk klaim wifi, atau misalnya klaim kursi di rumah tidak enak, vitamin, madu, meditasi, mental health seperti medikasi psikiater.
Kami melihat karyawan sebagai aset, tujuan kita bisa saja ga tercapai kalau karyawan kita demotivasi, moral turun, dan sering tidak bertemu menjadi suatu masalah. Jadi bagaimana kami memfasilitasi ini, sehingga karyawan ini bisa bekerja seperti layaknya waktu mereka di kantor.
Anda termasuk tipe pemimpin seperti apa?
Saya rasa orang selalu berevolusi, ketika saya timnya kecil, saya otomatis ada kriteria kerjaan-kerjaan apa. Jadi lebih ke rutin satu arah apa yang harus dikerjakan. Tetapi semakin kita naik, tidak bisa hanya menerapkan satu gaya kepemimpinan kita harus melihat situasi dan kondisi, apalagi sekarang banyak millenials di kantor. Sehingga tidak mungkin bagi kami untuk selalu satu arah, kita harus lebih embrace dialognya seperti apa, idenya seperti apa.
Kadang ada dimana saat saya harus otoriter, misalnya ketika menghadapi krisis. Seperti pandemi kemarin kami banyak sekali hal yang harus diputuskan cepat. Misalnya kalau ada anggota tim yang terkena Covid-19, apa yang harus dilakukan. Otomatis saya harus otoriter, dan ambil keputusan cepat apa yang harus dilakukan, pembagian pekerjaan, dan tempat.
Tetapi untuk hal yang lebih mengeluarkan ide-ide, kita meminta tim untuk berkontribusi lebih kreatif, kita harus lebih demokratis dan mengundang orang yang tadinya takut bicara. Harus bisa meng-address orang itu, karena kalau di meeting saya akan begitu bertanya "pendapat kamu bagaimana?", mungkin awalnya akan kaget, tetapi lama-lama akan terbiasa. Orang selalu punya ide bagus tetapi sering kali malu untuk mengungkapkan pendapatnya.
Salah satu transformasi cepat yang dilakukan DBS Indonesia adalah dengan DigiBank, bagaimana perusahaan bertransformasi cepat dibandingkan bank lain?
Saya bersyukur bisa bekerja di suatu bank yang memiliki visi, jadi pada 2014 DBS sudah mencanangkan digitalisasi sebelum pandemi. DBS memandang dirinya bukan hanya bank, tetapi tech company. Kami punya akronim Gandalf, G nya Google, A: Amazon, N: Netflix, D:DBS, A:Apple, L: Linkedin, F: Facebook. Jadi kami mau menempatkan diri sejajar, dan itu visi besar kami. Dari sanalah dipikirkan apa saja yang bisa ditransformasikan dari dalam pekerjaan kita sehari-hari.
Dalam award sebagai bank paling aman, bagaimana menjaga predikat selama 12 tahun ini?
Kami komitmen memberikan yang terbaik pada nasabah, karena award datang dengan tanggung jawab. Kalau kami mendapatkan award lalu persepsi orang berubah, itu kan cepat sekali kami akan sliding down, tetapi 12 tahun berturut-turut. Kami terus berinovasi, dan memakai teknologi untuk transaksi keamanan nasabah dan tentunya data nasabah adalah dua hal yang sangat krusial untuk bertransaksi di bank. Kalau bisa mengamankan dua hal ini maka perkembangannya akan bagus, jadi kami selalu mengembangkan face biometrik, dan yang lainnya untuk pengamanan.
DBSÂ menjadi The Best Bank in The World, bagaimana mencapainya dari sekian banyak yang ada di dunia?
Kami bangga bahwa di DBS tiga tahun berturut-turut mendapatkan predikat 'best bank in the world' dari global finance. Karena Bank DBS bisa memperkirakan apa yang terjadi ke depannya dan itu menjadi hasil dari digitalisasi kami, jadi dari 2014 kami mentransformasi diri untuk menjadi bank digital. Jadi bukan hanya sistem di depan yang diperbaiki, tetapi ke dalamnya juga. Misalnya saya di finance, kami juga harus bertransformasi.
Ada tim riset yang menunjukan arahnya harus kemana?
Betul, kita selalu punya digital agenda dan dilihat perjalanannya dari tahun ke tahun, dan visi jangka panjangnya apa, dan dari tahun ke tahun apa yang harus dicapai. Bukan hanya sistemnya saja, tetapi orang-orangnya juga.
Bagaimana membuat SDM berubah, karena banyak perusahaan yang merasa sulit mengubah orang ke transformasi digital?
Ini banyak sekali cara, tetapi yang paling penting saya lihat adalah perubahan kulturnya. Jadi dari atas, kalau mulai dari CEO, direksi ga menjalankan seperti itu orang tidak akan ikut. Kultur penting sekali dan tentunya pelaksanaan di lapangan, bagaimana mapping pekerjaan, mana pekerjaan yang harus ditransformasi. Kita akan berubah terus, 5-10 tahun mungkin ada kerjaan yang tidak relevan lagi tetapi orangnya masih jauh dari pensiun.
Bagaimana caranya kami punya komitmen untuk benar-benar upskill orang tersebut agar kedepannya bisa menghandle pekerjaan yang lebih sesuai dan relevan.
Ke depan bagaimana melihat persaingan yang bukan hanya bank melainkan juga non bank?
Itu adalah hal yang tidak bisa dihindari, itu adalah disrupsi. Jadi bank antara kita menutup diri untuk tidak ikut persaingan, atau kita embrace lagi untuk ikut persaingan. Saya melihat satu hal, bank masih menjadi institusi yang dipercaya.
Saya melihat begini ketika bank ingin ikut dalam hal itu, bank bisa bermain dan membentuk ekosistem jadi kita bisa bekerja sama kolaborasi dengan fintech yang ada, seperti yang dilakukan DBS Indonesia.
Ada penandatangan saat hari Kartini tentang women empowerment, untuk encourage perempuan untuk bisa melakukan kesetaraan gender, bagaimana di DBS?
Karyawan adalah aset terbesar kami jadi di DBS kita mengutamakan kesetaraan gender, tidak melihat perempuan atau laki-laki tetapi kapabilitas dan performa. Kami mau mengempower perempuan dalam dunia kerja, kita ikut menandatangani ini sebagai komitmen kami mendukung kesetaraan gender.
Bagian dari itu merupakan visi kami kedepannya menjadi 'best bank for a better world' dimana sustainability agenda kami ada tiga pilar: responsible banking, responsible business practice, dan creating social impact. Ini yang menjadi agenda besar.
Hobi dan gaya hidup seperti apa yang diminati?
Saya hobinya pilates, saya rutin dari tahun 2014. Sejak Work From Home (WFH) saya bisa langsung ke studionya dekat rumah, dan seminggu dua kali pilates. Saya juga suka tracking sebelum pandemi. Saya sudah pilates sejak 2014, karena bagus untuk memperbaiki struktur. Karena kita di kantor seringnya duduk, jadi perlu stretching. Pilates menurut saya untuk mempertahankan kekuatan otot, dan sudah dirasakan postur tubuh jadi lebih tegap dan jarang sakit kaki lagi. Sekarang saya bisa jalan di komplek saja 10 kilometer.
Pencapaian apa yang masih ingin dicapai dan yang masih menjadi tantangan?
Kalau dari individu, dulu saya berasal dari daerah kecil di Kalimantan jadi waktu kerja banyak teman-teman perempuan yang harus berhenti sekolah karena harus membantu orang tuanya, atau karena menikah muda. Cita-cita secara personal, ingin balik lagi ke kampung dan membantu anak muda disana yang memang butuh bantuan. Sekarang karena kesibukan kerja belum saya lakukan, tapi saya lakukan dengan cara yang lain belum dedikasikan tenaga.
[Gambas:Video CNBC]
Entrepreneur & Stafsus, Ini Rahasia Leadership Putri Tanjung
(dob/dob)