Eksklusif: Eks Pejabat WTO Bicara Soal Perang Dagang AS-China

Samuel Pablo, CNBC Indonesia
22 October 2018 13:00
Perang dagang menjadi isu yang mengemuka belakangan.
Foto: Mantan Hakim Banding WTO Prof. James Bacchus dalam Seminar WTO di Jakarta, pekan lalu (CNBC Indonesia/Samuel Pablo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Perang dagang menjadi isu yang mengemuka belakangan. Pemicu utama tentu adalah langkah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menaikkan bea impor terhadap produk-produk asal China.

Langkah itu segera dibalas oleh Negeri Tirai Bambu dengan penaikkan bea impor terhadap produk-produk asal Negeri Paman Sam. Tidak hanya dengan China, Trump juga sedang mereview perjanjian dagang dengan sejumlah negara, termasuk Jepang.

Keberadaan perang dagang tentu membuat masyarakat dunia bertanya perihal peran The World Trade Organization (WTO). Bagaimana sebaiknya WTO menyikapi perkembangan tersebut?

Pekan lalu, tepatnya pada Kamis (18/10/2018), Kementerian Perdagangan menyelenggarakan Seminar Nasional "Implementation on WTO Regulation on Subsidy and Countervailing Measure and Dispute Settlement Mechanism" di Hotel Arya Duta, Jakarta.

Salah satu pembicara adalah Prof. James Bacchus. Warga negara AS ini juga merupakan mantan Chairman Appellate Body WTO.

Dalam paparannya, Bacchus banyak mengkritisi perihal langkah Trump sehingga memicu perang dagang. Selepas seminar, CNBC Indonesia berkesempatan mewawancarai Bacchus secara ekslusif. Berikut petikannya:

Ekslusif: Mantan Pejabat WTO Beberkan Perang Dagang AS-ChinaFoto: Mantan Hakim Banding WTO Prof. James Bacchus dan Seminar WTO (CNBC Indonesia/Samuel Pablo)


Menurut Anda, bagaimana WTO menangani perang dagang yang terjadi antara AS dan China saat ini?
Sebagaimana saya jelaskan tadi, WTO adalah sebuah mekanisme kerja sama 164 anggotanya yang menyebut diri mereka sebagai WTO. Jadi, WTO tidak bisa mengintervensi. Keputusan WTO haruslah keputusan kolektif seluruh anggotanya melalui sebuah kerja sama multilateral.

Saat ini, ada beberapa negara yang telah menggugat perselisihan dagang terhadap AS karena kebijakan pemerintahan Trump menerapkan hambatan perdagangan sepihak dalam bentuk tarif. Sengketa-sengketa tersebut butuh waktu untuk bisa diputuskan melalui WTO.

Lebih jauh, perselisihan ini telah meluas, ditandai adanya kebijakan retaliasi dagang yang diterapkan Uni Eropa, China dan beberapa negara lainnya terhadap tindakan sepihak AS. Saya khawatir akan banyaknya tindakan yang diambil AS dan negara-negara itu di luar kerangka hukum WTO.

Kebijakan-kebijakan di luar kerangka hukum WTO ini mengancam keberadaan WTO dan akan sangat mencederai sistem perdagangan global.
Di waktu yang sama, sebagaimana kita diskusikan dalam seminar tadi, terjadi krisis dalam upaya mengisi posisi-posisi yang kosong di Badan Banding (Appellate Body) WTO.

Dalam waktu dekat, kita bisa mencapai suatu titik di mana tidak mungkin lagi mengajukan banding terhadap putusan panel. Jika itu terjadi, kita tidak mungkin lagi dapat mengadopsi putusan panel dan akhirnya sistem penyelesaian sengketa WTO akan lumpuh. Kedua situasi ini memberikan ancaman yang serius bagi sistem perdagangan global.
Terkait hal ini, kita pun mendengar berulang kali pernyataan Trump di media yang mengancam akan menarik AS keluar dari WTO. Ini karena WTO dianggap tidak mampu mengatasi ketidakadilan yang mereka alami dalam perdagangan, khususnya dengan China selama ini. Apa dampaknya apabila AS benar-benar menarik diri dari WTO?

Pertama-tama, saya percaya pemerintahan Trump keliru dalam berpikir bahwa tidak ada cara di bawah aturan saat ini untuk mengatasi pelanggaran perdagangan China. Tentu saja, dibutuhkan aturan yang lebih banyak dan lebih baik.

Tetapi aturan yang ada saat ini menawarkan peluang untuk AS menghadapi praktik perdagangan China dalam kerangka penyelesaian sengketa WTO. Dan saya harus menambahkan, China memiliki catatan yang sangat bagus dalam mematuhi keputusan yang merugikan mereka dalam penyelesaian sengketa WTO.

Ada aturan tentang transfer teknologi, rahasia dagang, persyaratan tingkat kandungan dalam negeri; penegakan hak-hak atas kekayaan intelektual dan lebih banyak lagi yang bisa menjadi dasar klaim oleh AS dan pihak lain untuk menghadapi China dalam penyelesaian sengketa WTO.

Jadi menurut saya, justifikasi yang diupayakan AS untuk bertindak di luar aturan WTO dalam menantang China sama sekali tidak dibenarkan.

Terkait pernyataan Trump tentang menarik diri dari WTO, perjanjian WTO menyebutkan setiap negara anggota memiliki hak untuk keluar dari WTO dengan memberikan notifikasi 6 bulan sebelumnya, namun hingga saat ini belum pernah ada negara yang keluar.

Jika suatu negara mengundurkan diri, dia akan kehilangan ribuan konsesi perdagangan yang telah diberikan kepada semua anggota WTO di bawah aturan MFN (Most Favoured Nations), dapat dikatakan di seluruh sektor perdagangan.

Selain itu, negara itu juga akan kehilangan manfaat dari azas non-diskriminasi WTO, sehingga setiap negara dapat melakukan diskriminasi dengan cara apapun yang mereka inginkan terhadap negara yang menarik diri dari WTO. Saya tidak tahu apakah ada yang pernah menjelaskan hal ini kepada Presiden Trump.

Lebih lanjut, aturan WTO mengatakan bahwa negara keluar, dan keputusannya untuk keluar tentu tergantung hukum domestik di negara tersebut. Di bawah undang-undang AS, saya tidak percaya bahwa Presiden Trump seorang diri dapat memutuskan AS keluar dari WTO.

Dia harus mendapatkan persetujuan dari Kongres, dan saya tidak percaya persetujuan dari Kongres dapat dengan mudah didapatkan. Ini tidak berarti Presiden Trump tidak akan memutuskan untuk keluar dari WTO dan mengumumkannya.

Jika itu terjadi, kita akan lihat apa yang terjadi selanjutnya. Kendati demikian, salah satu isu hukum yang akan muncul adalah apakah anggota WTO yang lain akan mengakui penarikan diri AS jika tindakan tersebut pun ditentang di AS. Saya tidak tahu kenapa belum ada yang mengangkat pertanyaan itu sebelumnya.

Saat suatu negara memutuskan untuk menarik diri dari WTO, apakah itu membutuhkan kesepakatan dari seluruh negara anggota?
Negara manapun dapat keluar dari WTO tanpa izin dari negara lain, yang penting dia harus memberikan notifikasi 6 bulan sebelumnya, itu saja. Namun dengan melakukan itu, dia akan mengorbankan seluruh manfaat yang didapatkan negara anggota WTO.

Negara tersebut akan kehilangan berbagai manfaat perdagangan, tarif yang rendah, dan banyak lagi yang diberikan kepada anggota WTO. Lebih buruk lagi, negara itu akan kehilangan perlindungan hukum azas non-diskriminasi dalam perjanjian WTO.

Setiap negara yang menarik diri dari WTO dipastikan akan segera rentan terhadap diskriminasi dalam perdagangan dari negara lainnya tanpa perlindungan apapun di bawah hukum internasional. Satu-satunya pengecualian adalah jika negara tersebut memiliki perjanjian perdagangan.

Dalam kasus ini, AS tidak terlalu banyak memiliki perjanjian dagang. Negara tetangga kami, Meksiko, punya lebih banyak. Jadi, jika AS menarik diri dari WTO, maka dia berpotensi menghadapi segala bentuk diskriminasi perdagangan dari lebih dari 100 negara. Itu akan menjadi suatu kesalahan yang fatal.



Apabila perang dagang ini menjadi semakin parah, apa dampaknya bagi negara berkembang seperti Indonesia?
Kita akan semakin melihat dampak tidak langsung pada negara lain karena konflik dagang AS-China. Di AS dan China dan di belahan dunia lainnya, kita belum melihat adanya dampak ekonomi yang serius secara global.

Jika konfrontasi perdagangan ini berlanjut dan meningkat, saya pikir kita tidak akan melihat banyak dampak pada sisa tahun ini. Tapi saya pikir kita akan menghadapi beberapa dampak serius pada tahun depan.

Tanda-tandanya ada: keengganan pebisnis untuk membuat keputusan investasi karena ketidakpastian perdagangan, naiknya harga konsumen baik di tingkat ritel maupun apa yang sering diabaikan, yakni input ke produksi di dalam negeri.

Di belahan dunia manapun, pabrikan dalam negeri bergantung pada impor untuk membuat produk akhir mereka dan jika ada pembatasan impor, maka biaya mereka naik dan harga naik dan produsen tersebut tidak lagi kompetitif, ini adalah konsekuensi yang pasti terjadi secara universal, baik itu di AS, di Indonesia, maupun di China.

Tanda lainnya adalah dampak dari hambatan perdagangan ini terhadap rantai pasok global (global supply chains). Biaya-biaya tambahan ini akan masuk melalui rantai pasok dan itu akan mengarah pada penurunan daya saing bagi pabrikan manapun di dunia.

Negara berkembang adalah yang paling rentan. Mengapa? Hal ini tidak hanya disebabkan dampak spin-off dari konfrontasi dagang kedua negara besar ini, namun spin-off ini juga terjadi di saat negara berkembang sedikit berjuang karena situasi keuangan dan moneter secara keseluruhan dalam perekonomian global saat ini.

Apa yang Indonesia dan negara berkembang lainnya harus lakukan untuk menangani situasi ini?
Indonesia yang harus memutuskan. Saya mendesak Indonesia untuk terus menjadi anggota yang produktif dan konstruktif dalam sistem perdagangan WTO.

Indonesia selama ini telah menjadi pemimpin dan terus mencoba membangun aturan dan hukum internasional dalam perdagangan. Kepemimpinan yang berkelanjutan dari Indonesia sangat dibutuhkan dalam situasi saat ini.
Foto: infografis/Musuh-musuh Perang Dagang Trump/Aristya Rahadian Krisabella

(miq/miq) Next Article Perang Dagang, dan Anggapan RI 'Partner in Crime' AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular