Pilot Tewas Mengenaskan Tiba-tiba Linglung, Penyebabnya Bikin Miris

Redaksi, CNBC Indonesia
Senin, 22/12/2025 21:00 WIB
Foto: Sebuah penerbangan American Airlines yang sedang dalam perjalanan dari New York menuju Delhi terpaksa mengubah rutenya secara mendadak akibat ancaman keamanan di dalam pesawat. Insiden ini terjadi pada Minggu (23/2/2025). (Tangkapan Layar Video Reuters/ITALIAN DEFENCE MINISTRY

Jakarta, CNBC Indonesia - Asap beracun (fume) pada pesawat bisa berdampak fatal, mulai dari penyakit serius hingga menyebabkan kematian. Wall Street Journal (WSJ) membuat laporan terkait kematian 'tak wajar' para pilot dan kru pesawat yang diduga bersumbu pada paparan asap beracun.


Salah satunya menimpa Ron Weiland, pilot American Airlines yang meninggal pada 14 Januari 2019. Suatu ketika pada Oktober 2016, Wiland yang dalam kondisi tubuh prima tiba-tiba kehilangan kemampuan untuk bermain ping pong.


Beberapa pekan setelahnya dalam sebuah acara di rumah teman, ia mulai bicara terbata-bata setelah meminum satu gelas cocktail. Penerbangan terakhirnya pada Mei 2017, ketika ia kesulitan membuat pengumuman untuk penumpang.

Pada Juni 2017, ia didiagnosa mengidap sklerosis lateral miotrofik (ALS), yakni penyakit neurodegeneratif yang membunuh sel-sel otak untuk mengontrol tubuh. Ia kemudian tutup usia dua tahun setelahnya.

Menarik ke belakang, dua bulan sebelum pertandingan ping pongnya, Weiland mendeteksi aroma menusuk seperti oli tumpah ketika mengemudikan Boeing 767 di landasan pacu Bandara Internasional Miami. Ia membatalkan penerbangan, menurunkan penumpang, dan tetap berada di dalam pesawat untuk membantu para mekanik.

Saat mesin kembali beroperasi, bau menusuk itu kembali terendus, bersamaan dengan kepulan kabut yang cukup tebal sehingga Weiland kesulitan melihat lebih dari 15 baris pertama.

Insiden tersebut dikenal dalam industri penerbangan sebagai 'insiden asap beracun' (fume event), yakni ketika kebocoran oli sintetis atau cairan lain ke dalam mesin pesawat menghasilkan gas beracun yang dilepaskan ke dalam kabin dan kokpit melalui saluran udara.

Dampak dari insiden asap beracun seringkali bersifat sementara, ringan, atau bahkan tidak menimbulkan gejala sama sekali. Namun, beberapa penumpang dan awak pesawat telah didiagnosis menderita penyakit yang berkepanjangan dan parah.

Dalam kasus yang paling ekstrem, termasuk kasus Weiland, insiden asap beracun dilaporkan berakibat fatal.

Di akhir hayatnya, Weiland tak bisa berbicara dan diberikan iPad untuk berkomunikasi. Sang istri, Martha Weiland, mengatakan beberapa kali suaminya hanya menyebut kata "fume".

Martha Weiland mengajukan tuntutan hukum melawan Boeing pada 2020. Ia menuduh kematian suaminya dikarenakan paparan asap beracun yang memicu penyakit mematikan.

Pada 2022, sehari sebelum pemilihan dewan panel, Boeing menawarkan damai. Jumlah uang kompensasi yang diberikan Boeing sebagai bentuk kesepakatan damai tidak diungkap ke publik.

Dalam respons legal terhadap gugatan Weiland, Boeing membantah berbagai tuduhan yang diberikan. Boeing mengklaim desain pesawatny, termasuk sistem pengurasan udara yang menyedot udara dari mesin ke dalam pesawat, telah disetujui untuk digunakan oleh Administrasi Penerbangan Federal (FAA) selama beberapa dekade.

Laporan tentang insiden asap beracun telah meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. WSJ melaporkan pada September lalu bahwa di antara maskapai penerbangan terbesar AS, insiden tersebut terjadi hampir 10 kali lebih banyak pada tahun 2024 dibandingkan satu dekade sebelumnya, berdasarkan analisis lebih dari satu juta laporan yang diajukan ke basis data FAA.

Beberapa saat setelahnya, 39 anggota Kongres menyurat ke administrator FAA Bryan Bedford untuk meminta lembaga tersebut mempercepat upaya untuk menanggulangi insiden asap beracun, serta menyediakan mekanisme baru bagi penumpang untuk melaporkan insiden.

Beberapa maskapai termasuk American Airlines dan Delta Airlines dilaporkan telah meningkatkan sistem pesawat mereka sebagai respons atas masalah ini.

Insiden paparan asap beracun diyakini dapat memicu kemungkinan penyakit serius, bahkan kematian. Namun, hal ini masih terus menjadi perdebatan sengit.

Asap Beracun Pembawa Maut

Tinjauan jurnal terhadap puluhan makalah penelitian terbaru dan wawancara dengan lebih dari 20 profesional medis, termasuk spesialis otak dan jantung, ahli epidemiologi, dan ahli toksikologi, menunjukkan keyakinan yang makin meningkat tentang hubungan antara peristiwa paparan asap beracun dan diagnosis yang berpotensi fatal.

"Ini adalah pola dan saya tidak bisa menghiraukannya," kata Frank van de Goot, seorang ahli patologi forensik Belanda yang mengatakan telah melakukan otopsi pada 18 anggota kru yang menunjukkan tanda-tanda paparan zat beracun.

American Airlines memang tidak dimasukkan dalam gugatan Weiland. Namun, dalam sebuah pernyataan, seorang juru bicara mengatakan maskapai tersebut terus melihat penurunan dalam jenis kejadian ini, serta berinvestasi dalam pelatihan dan prosedur lainnya untuk memastikan kualitas udara kabin setinggi mungkin.

Gregory O'Shanick, seorang spesialis pengobatan cedera otak dari Richmond, Virginia, telah merawat awak penerbangan yang mengalami cedera serius yang menurutnya disebabkan oleh paparan zat beracun di pesawat komersial.

Ia juga telah mengidentifikasi kesamaan yang jelas antara gejala awak pesawat dan gejala yang ia temukan pada tentara dengan trauma gegar otak yang disebabkan oleh paparan bahan kimia dan ledakan di medan perang.

Pada kedua kelompok tersebut, hubungan antara cedera kepala parah dan penyakit otak yang mengancam jiwa termasuk ALS, demensia, tumor otak, dan depresi akut sangat terkait dan berhubungan erat.

O'Shanick, Van de Goot, dan para profesional medis lainnya, termasuk Michael Freeman, seorang profesor epidemiologi forensik di Universitas Maastricht, setuju dengan posisi industri bahwa penyebab langsung belum terbukti, sebagian karena perusahaan keberatan untuk memasang monitor kualitas udara di pesawat. Namun mereka juga menekankan urgensi agar hal itu segera dilakukan.

Pada 2021, para peneliti di Universitas California, Berkeley menemukan bahwa paparan akut terhadap bahan kimia formaldehida menyebabkan peningkatan risiko terkena ALS sebesar 78% dan peningkatan risiko kanker otak sebesar 71%.

Tahun lalu, formaldehida diidentifikasi dalam sebuah studi yang didanai FAA sebagai zat yang berulang kali melebihi pedoman paparan kerja, bahkan ketika sejumlah kecil minyak bercampur ke dalam udara.

Sebuah studi terpisah yang dipimpin Harvard pada 2024 menemukan bahwa pilot memiliki tingkat kematian tertinggi keempat akibat Alzheimer dari 443 pekerjaan di AS.

Meskipun ALS adalah salah satu penyakit neurodegeneratif yang lebih kompleks, para peneliti makin yakin bahwa siapa pun dapat mengembangkan penyakit ini jika mereka mengakumulasi atau terpapar cukup banyak faktor untuk mencapai titik kritis.

Memiliki gen yang rentan adalah salah satunya. Faktor lainnya termasuk berbagai jenis paparan yang terkait dengan peristiwa asap, seperti bahan kimia yang muncul dalam pestisida dan oli mesin, tingkat partikel ultrahalus dan pelarut seperti formaldehida yang tinggi, dan trauma otak.

Dalam gugatan Weiland terhadap Boeing, pengacaranya mencatat bahwa suaminya memiliki beberapa faktor risiko sebelumnya. Pamannya meninggal karena penyakit tersebut di usia akhir 70-an, ia memiliki salah satu mutasi gen yang relevan, dan ia telah menghabiskan enam tahun menerbangkan pesawat C-130 untuk Angkatan Udara.

Insiden Bertubi-tubi

Weiland merupakan salah satu dari banyak kasus tragis terkait paparan asap beracun pada pesawat. Salah satunya juga menimpa James Anderberg. Pada 2015 lalu, ia menjadi pilot untuk Spirit Airlines yang terbang bolak-balik dari Chicago ke Minneapolis.

Pada dua tahap penerbangan pertama, dia dan kopilot Eric Tellman memperhatikan bau seperti kaus kaki kotor yang menyebar di seluruh pesawat Airbus A319 tepat saat mereka mulai turun.

Mereka kemudian meminta tim maintanance untuk mengecek dan memperbaiki masalah tersebut. Saat melakukan penerbangan ketiga di Boston, asap beracun itu kembali muncul.

Tellman yang khawatir akan pingsan akibat paparan asap kemudian mengambil masker oksigen. Di sisi kiri, ia melihat Anderberg sudah terkapar di kursinya dengan mata setengah tertutup. Tellman kemudian memasangkan masker ke kepalanya.

"Seandainya saya tidak mengenakan masker oksigen pada penerbangan kala itu, kita akan membunuh setiap orang di pesawat itu," tulis Tellman dalam surat kepada serikat kerjanya yang memperinci pengalaman tersebut.

Beberapa hari setelahnya Anderberg dan Tellman mulai mengalami gejala seperti muntah, diare, dan tremor di tangan dan kaki. Ketika Anderberg akhirnya kembali bertugas, kopilot melihat Anderberg kesulitan dalam koordinasi mata-tangan.

Pada 4 September, Anderberg datang ke rumah sakit lokal dan melaporkan getaran pada kaki-tangannya, serta menderita insomnia parah. Hari berikutnya, ia diduga berlaku agresif terhadap seorang perempuan di jalan.


Perempuan itu kemudian menghubungi pilisi. Petugas kepolisian mengatakan Anderberg kesulitan menjawab beberapa pertanyaan dasar.

Saat tangannya diborgol, Anderberg mengalami serangan jantung. Kejadian ini tepat 50 hari setelah ia terkena paparan asap beracun.

Penyebab kematiannya dinyatakan tidak dapat ditentukan, dengan pemeriksa medis menyatakan bahwa tidak mungkin untuk mengonfirmasi atau mengesampingkan peran paparan asap beracun di pesawatnya.

Pada April tahun ini, para peneliti di Italia menggambarkan berbagai cedera jantung yang disebabkan oleh paparan racun dari sejumlah bahan kimia yang ditemukan dalam oli mesin yang terbakar. Daftar tersebut hampir sama persis dengan yang ditemukan dalam otopsi Anderberg.

Airbus menolak berkomentar dan Spirit tidak menanggapi.

Setahun sebelum Anderberg meninggal, Matthew Bass, seorang pramugara British Airways berusia 34 tahun, sedang makan pizza dan minum-minum dengan rekan-rekannya ketika ia hendak berbaring dan tiba-tiba berhenti bernapas.

Dalam beberapa minggu sebelumnya, ia mengalami penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, kesulitan berkoordinasi, dan merasa kelelahan hampir terus-menerus.

Otopsi mengidentifikasi peradangan pada sistem saraf perifer Bass dan pada otot jantungnya, mirip dengan Anderberg. Kedua kondisi tersebut juga sesuai dengan yang ditemukan pada anggota kru British Airways lainnya, Richard Westgate, seorang pilot yang meninggal beberapa tahun sebelumnya pada usia 43 tahun. Keluarga Westgate berpendapat bahwa kesehatannya yang buruk disebabkan oleh paparan asap beracun.

Setelah putra mereka meninggal, Charlie dan Fiona Bass mendatangkan Van de Goot, seorang ahli patologi Belanda, untuk melakukan otopsi khusus. Mereka juga mengirimkan sampel jaringan dari otak Matthew ke kepala laboratorium neurotoksikologi Universitas Duke.

Keduanya melaporkan temuan yang sama, yakni putra mereka mengalami kerusakan luas pada sistem sarafnya yang konsisten dengan paparan minyak mesin yang dipanaskan.

Dalam sebuah wawancara, Van de Goot mengatakan ia telah mengidentifikasi peradangan yang sama dalam 18 otopsi individu pilot dan awak kabin.

British Airways tidak menanggapi permintaan komentar.


(fab/fab)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Tiktok di Amerika Serikat Resmi Diakuisisi!