Dunia Medis Bakal Berubah Total, Asia Tenggara Godok Peta Jalan AI
Jakarta, CNBC Indonesia - Asia Tenggara dan Pasifik Barat tengah menyiapkan peta jalan teknologi untuk menghadirkan platform kecerdasan buatan (AI) yang mampu menyediakan bukti medis terbaru secara real-time. Langkah ini dinilai penting karena banyak tenaga kesehatan masih mengacu pada panduan klinis yang sudah usang, sehingga berisiko menghambat respons terhadap kondisi darurat kesehatan.
Platform berbasis AI tersebut dirancang untuk menghubungkan dokter, pembuat kebijakan, hingga masyarakat dengan riset kesehatan terkini yang terus diperbarui mengikuti perkembangan ilmu. Keterlambatan sekecil apa pun dalam memperbarui panduan dapat berdampak besar, terutama saat menghadapi wabah atau pandemi.
Lokakarya regional yang diselenggarakan bersama WHO dan Cochrane menghasilkan laporan ilmiah Co-designing a Living Evidence Architecture yang memetakan kebutuhan kawasan untuk membangun sistem bukti medis yang modern. Inisiatif ini dipimpin oleh Australian Living Evidence Collaboration (ALEC) dari Monash, yakni kolaborasi penyedia bukti kesehatan yang berkesinambungan (living evidence) di Australia, bersama dengan Fakultas Seni, Desain, dan Arsitektur (MADA) dan Fakultas Teknologi Informasi (FIT) di kampus pusat Monash di Australia, serta Monash University, Indonesia.
Direktur ALEC, Profesor Tari Turner menyebut living evidence sebagai infrastruktur baru untuk pengetahuan kesehatan yang mampu berkembang seiring dengan meningkatnya pemahaman dan kemampuan untuk menyesuaikan dengan kondisi lokal.
"Melalui kolaborasi dan perancangan bersama, kita dapat membuat bukti ilmiah benar-benar bisa diakses dan berdampak global," ujarnya dalam keterangan pers pada Senin (8/12/2025).
Profesor Indah Suci Widyahening dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menegaskan, akses cepat ke bukti medis bukan hanya soal akurasi rekomendasi, tetapi juga efisiensi biaya. "Akses ke bukti kesehatan yang mutakhir dan tepat waktu akan membantu kami memberikan rekomendasi yang relevan dan praktis, serta mengurangi biaya yang tidak perlu," jelasnya.
Pemimpin co-design dari MADA, Associate Professor Leah Heiss menambahkan, platform AI harus dapat disesuaikan dengan kebutuhan komunitas yang berbeda. Menurutnya, para peserta menekankan pentingnya platform terpusat berbasis AI yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan berbagai komunitas.
Sementara itu, mahasiswa program Master of Public Health Monash University, Associate Professor Grace Wangge menyoroti pentingnya mengangkat perspektif Asia Tenggara dalam bukti medis global. "Wawasan medis berharga dari kawasan ini seringkali tidak dimanfaatkan, padahal sangat relevan dengan konteks lokal kita," ujarnya.
Profesor John Grundy dari Fakultas Teknologi Informasi Monash University Australia mengingatkan, pengembangan AI untuk sektor kesehatan harus dilakukan secara etis. Hal ini juga harus dibarengi dengan mempertimbangkan nilai-nilai setempat.
"Langkah kami berikutnya adalah menyusun peta jalan teknologi untuk mendukung platform living evidence yang mencerminkan kebutuhan dan nilai-nilai lokal, serta mendorong pengambilan keputusan yang transparan dan adil," katanya.
Setelah peta jalan selesai, proyek akan mencari pendanaan untuk tahap pengembangan, pengujian, dan implementasi di seluruh Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Inisiatif ini menjadi fondasi bagi Living Evidence Architecture, visi jangka panjang untuk mempercepat penerjemahan riset kesehatan ke kebijakan dan praktik medis lintas negara.
(fab/fab)