Peneliti UGM Buka-bukaan Penyebab Banjir Bandang Sumatra

Novina Putri Bestari, CNBC Indonesia
Senin, 01/12/2025 16:25 WIB
Foto: Banjir bandang yang terjadi di wilayah Padang, Sumatera Barat, menghanyutkan kayu gelondongan, Sabtu (29/11/2025). (REUTERS/Willy Kurniawan)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatra Barat, Sumatra Utara dan Aceh pada akhir November lalu terjadi karena beberapa penyebab seperti curah hujan tinggi. Namun juga ada alasan lain yakni kerusakan ekosistem hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS).

Menurut Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM, Hatma Suryatmojo, hutan di wilayah DAS memiliki peranan seperti penyangga hidrologis. Ini bisa menjadi spons untuk menyerap air hujan ke dalam tanah, seraya menahannya untuk tidak langsung masuk ke sungai.


Dari hasil berbagai penelitian di hutan tropis alami Kalimantan dan Sumatera, kemampuan hutan di wilayah tersebut menahan dan menampung air hujan di tajuk mencapai 15-35% dari hujan. Dengan permukaan tanah yang tidak terganggu bisa memasukkan air ke dalam tanah mencapai 55%, jadi limpasan permukaan ke badan sungai hanya 10-20% saja.

Sementara itu, kemampuan hutan mengembalikan air ke atmosfer lewat proses evapotranspirasi mencapai 25 hingga 40 persen dari total hujan.

Hatma menegaskan peranan penting hutan menjaga keseimbangan siklus air hingga mencegah banjir saat musim hujan. Saat hutan di hulu rusak atau gundul, maka mengganggu siklus hidrologi alami dan semua fungsi hutan akan menghilang.

"Peran hutan untuk intersepsi, infiltrasi dan evapotranspirasi akan hilang. Air hujan yang deras tak lagi banyak terserap karena lapisan tanah kehilangan porositas akibat hilangnya jaringan akar. Akibatnya, mayoritasi hujan menjadi limpasan permukaan yang langsung mengalir deras ke hilir," jelasnya dikutip dari laman resmi UGM, Senin (1/12/2025).

Sejumlah hutan yang masih utuh dinilai juga memiliki kemampuan tertentu menampung hujan. Misalnya pada hujan ekstrem akan meningkatkan potensi longsor, yang membawa material berupa tanah, batu, dan batang pohon.

Material-material itu akan tertimbun di badan sungai menciptakan bendungan alami. Namun bendungan tersebut bisa jebol karena volume air yang besar dan sungai tak mampu menampungnya, pada akhirnya menyebabkan banjir bandang.

Belum lagi adanya pendangkalan alur sungai karena material lumpur hingga pasir terbawa ke sungai. Kondisi karena tanah yang tidak dipertahanakan akar, yang juga bisa mengakibatkan erosi.

"Pendangkalan dan penyempitan sungai akibat sedimen ini akhirnya memperbesar risiko luapan banjir. Dengan kata lain, hutan hulu yang hilang berarti hilangnya sabuk pengaman alami bagi kawasan di bawahnya," kata Hatma.

Dia juga menyoroti deforestasi masif di beberapa wilayah di Sumatera. Data BPS Aceh dan lembaga lingkungan mencatat daerah tersebut kehilangan lebih dari 700 ribu hektar hutan pada 1990-2020.

Sementara di Sumatera Utara, wilayah tutupan hutan hanya tinggal 29% atau 2,1 juta ha pada 2020. Sumatera Barat mencatat memiliki proporsi hutan 54% atau 2,3 juta ha pada 2020, namun dengan laju deforestasi tertinggi.

Dalam catatan Walhi Sumatera Barat, provinsi itu kehilangan 320 ribu ha hutan primer dan 740 ribu ha tutupan pohon pada 2001 hingga 2024. Hanya dalam waktu satu tahun pada 2024, deforestasi di sana mencapai 32 ribu ha.

Sisa hutan di sana berada di lereng curam Bukit Barisan. Membuatnya berisiko bencana tanah longsor hingga banjir bandang.


(fab/fab)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Solusi HSBC Optimalkan Pengelolaan Aset & Keuangan Era Digital