BBM Bobibos Disebut Setara Pertamax, Ahli IPB Ungkap Harga Aslinya
Jakarta, CNBC Indonesia - Perbincangan mengenai bahan bakar baru bernama Bobibos tengah ramai dibahas publik. Produk yang diklaim sebagai Bahan Bakar Original Buatan Indonesia, Bos! ini digadang-gadang mampu menurunkan emisi hingga mendekati nol serta memiliki Research Octane Number (RON) mendekati 98.
Bobibos disebut berasal dari jerami, limbah sisa panen padi yang selama ini kerap dibakar atau dibiarkan terbuang. Bahan bakar ini telah diperkenalkan beberapa waktu lalu di Bogor dan langsung memancing perhatian karena digadang-gadang sebagai inovasi energi ramah lingkungan berbasis sumber daya lokal.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Teknik Mesin dan Biosistem IPB University, Dr Leopold Oscar Nelwan, memberikan penjelasan teknis mengenai potensi dan tantangan pemanfaatan jerami sebagai bahan bakar alternatif.
Menurut dia, informasi terkait isu teknologi tersebut masih sangat terbatas. Namun beberapa sumber menunjukkan bahwa jerami diperlakukan sebagai biomassa lignoselulosa dalam proses konversinya.
"Dalam konteks ini, penting untuk menegaskan bahwa yang dimaksud dengan bahan bakar adalah hidrokarbon, bukan etanol atau biodiesel, karena hanya hidrokarbon yang memenuhi standar komersial jika dipasarkan secara murni untuk engine," tulisnya dalam keterangan, dikutip dari website IPB, Senin (24/11/2025).
Ia menjelaskan bahwa hidrokarbon terdiri dari karbon dan hidrogen yang terbagi dalam beberapa kelompok seperti paraffin, isoparaffin, olefin, dan aromatik. Menurutnya, jumlah karbon menentukan sifat fisik dan penggunaan bahan bakar tersebut, misalnya bensin berada pada rentang C5-C12 dan solar pada C12-C20.
Lebih lanjut, Leopold menerangkan bahwa terdapat banyak jalur konversi biomassa lignoselulosa menjadi hidrokarbon, meski sebagian besar masih pada tahap penelitian.
Beberapa jalur populer yang ia sebutkan meliputi proses termokimia seperti gasifikasi yang dilanjutkan dengan sintesis Fischer-Tropsch (FT), serta pirolisis cepat yang menghasilkan bio-oil yang dilanjutkan melalui proses hydrotreating.
Selain itu, ia menjelaskan konversi melalui hidrolisis monosakarida, baik direct sugar to hydrocarbon conversion (DSHC) maupun via etanol dengan mekanisme alcohol to hydrocarbon.
"Dari seluruh proses tersebut, yang paling mendekati tahap komersialisasi adalah gasifikasi dan FT, karena prinsipnya telah diterapkan pada konversi batu bara," jelasnya.
Kemudian, ia mengurai bahwa banyak tahapan-tahapan proses konversi baik dari proses termokimia maupun melalui hidrolisis monosakarida memerlukan katalis khusus serta kondisi operasi bersuhu dan bertekanan tinggi. Biaya konversi (energi), sebutnya, masih menjadi tantangan besar.
"Beberapa literatur menyebutkan bahwa biaya menghasilkan satu liter bahan bakar melalui proses FT dari batu bara mencapai US$0,8-1,6. Bahkan biaya prosesnya bisa lebih dari empat kali harga batu baranya," terangnya.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa konsep konversi limbah biomassa menjadi bahan bakar merupakan bagian dari biofuel generasi kedua yang mendukung keberlanjutan. Namun, tetap saja teknologi tersebut belum luas diterapkan karena investasi dan biaya proses yang tinggi.
Leopold menilai bahwa klaim biaya produksi rendah perlu dihitung kembali, termasuk faktor energi dan investasi. Ia menyimpulkan bahwa teknologi ini berpotensi meningkat kelayakannya atau bisa bersaing apabila harga bahan bakar fosil naik atau dibatasi.
(dem/dem)