MARKET DATA

Muncul Teknologi Baru Pengganti GPS, Lacak Lokasi Bakal Berubah Total

Redaksi,  CNBC Indonesia
20 November 2025 16:40
Aplikasi Waze
Foto: REUTERS/Nir Elias

Jakarta, CNBC Indonesia - Sistem navigasi berbasis satelit, GPS, selama ini menjadi tulang punggung aplikasi peta digital. Namun, sepertinya GPS akan ditinggalkan dan diganti sistem baru yang lebih aman, setidaknya untuk kebutuhan militer saat berperang.

Pasalnya, dalam perang Ukraina, Rusia berhasil melakukan modifikasi lokasi, dengan memblokir dan memalsukan sinyal satelit. Hal ini membuat Amerika Serikat (AS) dan sekutunya mulai memutar otak untuk mencari alternatif sistem navigasi selain GPS.

Musuh bebuyutan AS lainnya seperti China dan Korea Utara, menurut laporan Wall Street Journal, juga memiliki kemampuan untuk memalsukan sinyal GPS.

Pemalsuan GPS oleh militer juga mendatangkan risiko bagi warga sipil. Misalnya, ketika oknum penjahat mencoba memodifikasi sinyal bagi pesawat komersial.

"Masalah ini belum begitu mendesak hingga saat ini, ketika kita menyaksikan berakhirnya keandalan GPS," kata Russell Anderson, ilmuwan utama di Q-CTRL, startup Australia yang menjalankan uji coba sistem alternatif GPS.

Teknologi Baru Pengganti GPS

Di sebuah bandara kecil di pedesaan Australia bulan lalu, sebuah pesawat kecil lepas landas membawa perangkat yang dapat mengubah cara drone, pesawat terbang, dan kapal AS bernavigasi melintasi medan perang di masa depan.

Penerbangan tersebut membawa instrumen yang memancarkan laser ke atom. Fungsinya seperti jarum kompas untuk mengukur medan magnet Bumi secara real-time. Hasil pembacaan dari perangkat tersebut dapat dibandingkan dengan peta medan magnet.

Hal ini akan membantu pengguna menentukan lokasi mereka, sehingga menjadi opsi lain untuk navigasi berbasis satelit seperti GPS.

Para ilmuwan di seluruh dunia sedang meneliti apakah pemanfaatan sifat kuantum atom dapat membantu navigasi yang akurat. Namun, masih belum jelas apakah perangkat tersebut akan bekerja dengan andal dalam misi militer yang sesungguhnya.

Dikutip dari WSJ, Kamis (20/11/2025), Pentagon berharap dapat memecahkan masalah navigasi yang rentan dipalsukan. Pada Agustus lalu, badan penelitian dan pengembangan di Kementerian Pertahanan AS meluncurkan program untuk membantu meningkatkan ketahanan sensor kuantum.

Badan tersebut mengatakan sensitivitas perangkat yang luar biasa membuatnya rapuh di lingkungan nyata, di mana getaran atau interferensi elektromagnetik dapat menurunkan kinerja. Q-CTRL yang berbasis di Australia terpilih untuk berpartisipasi. Ada juga perusahaan lain, Safran Federal Systems di Rochester, New York, yang mengatakan telah mendapatkan kontrak serupa.

Proyek ini dinilai makin mendesak, sebab Rusia dan China telah meningkatkan kemampuan peperangan elektronik mereka. Para pejabat Eropa menuduh Rusia melakukan pengacakan pesawat secara meluas.

Masalah dengan GPS adalah sinyalnya biasanya lemah, sehingga mudah diblokir. AS telah meluncurkan sinyal GPS baru yang lebih kuat untuk militer yang disebut M-code, yang lebih tahan terhadap gangguan, tetapi masih ada tantangan yang dihadapi. 

"Militer AS sekarang menyadari bahwa medan perang di masa depan akan sepenuhnya diperebutkan dalam domain elektromagnetik, sesuatu yang belum pernah kita lihat sebelumnya," ujarnya.

Perangkat kuantum dinilai sebagai alternatif terbaik saat ini. Jam kuantum, misalnya, dapat meningkatkan presisi dan akurasi penunjuk waktu. Sensor kuantum lain, yang juga sedang dikembangkan oleh Q-CTRL, dapat bernavigasi dengan mendeteksi perubahan kecil dalam gravitasi.

"Penginderaan kuantum adalah prioritas," kata Tanya Monro, kepala ilmuwan Kementerian Pertahanan Australia, yang menyelenggarakan uji coba sensor gravitasi Q-CTRL di salah satu kapalnya.

"Ada kebutuhan mutlak untuk dapat beroperasi tanpa GPS sama sekali," ia menegaskan.

Perangkat Q-CTRL di pesawat di Griffith menembakkan laser ke atom rubidium, logam lunak berwarna putih keperakan, yang berada dalam bentuk gas di dalam botol kaca kecil. Laser membantu mengukur perubahan jarum kompas internal atom, yang digunakan untuk menghitung kekuatan medan magnet.

Software Q-CTRL kemudian menghilangkan gangguan dari sumber eksternal, seperti pesawat itu sendiri, sehingga menghasilkan pengukuran medan magnet Bumi yang akurat di lokasi tersebut. Peta tersebut menunjukkan deviasi dari kekuatan medan rata-rata di permukaan Bumi.

Di Griffith, para engineer Q-CTRL menguji tiga magnetometer di lokasi berbeda di pesawat, mengingat interferensi eksternal di setiap titik berbeda.

Unit-unit tersebut diuji terhadap sistem navigasi inersia canggih yang memperkirakan posisi menggunakan giroskop dan akselerometer. Sistem ini sudah digunakan sebagai cadangan GPS dan pada kapal selam, yang tidak dapat mengakses GPS saat berada di bawah air. Namun, ketidakakuratan terus bertambah seiring jarak.

Ketiga lokasi menunjukkan kinerja yang sebanding, kata Michael J. Biercuk, fisikawan kuantum asal AS yang mendirikan Q-CTRL.

Selama rentang waktu uji 80 mil, sebuah sensor di ujung sayap pesawat menghasilkan estimasi posisi rata-rata dalam jarak sekitar 620 kaki dari posisi sebenarnya, dan margin kesalahan tidak meningkat seiring durasi penerbangan, katanya. Performanya lebih dari 10 kali lebih baik daripada sistem navigasi inersia.

GPS masih sangat presisi, jika tersedia. HP berkemampuan GPS biasanya akurat hingga jarak 16 kaki di bawah langit terbuka, menurut sebuah studi.

Tantangan Sistem Kuantum Magnetik

Perlu dicatat, pendekatan magnetometer masih memiliki tantangan. Salah satunya adalah kebutuhan akan peta magnetik yang detail, yang mungkin tidak selalu tersedia atau mutakhir. Tantangan lainnya adalah membuat perangkat ini cukup murah untuk dijalankan.

"Kuantum menawarkan banyak potensi," kata Allison Kealy, seorang profesor di Swinburne University of Technology di Melbourne, Australia, yang berspesialisasi dalam penentuan posisi dan navigasi.

"Saya pikir sensor ini seperti sensor lainnya. Sensor ini memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing, ia menuturkan.

Eksplorasi lain juga secara paralel dilakukan oleh pihak lain. Advanced Navigation, sebuah perusahaan di Australia yang memproduksi sistem navigasi inersia, sedang bersiap untuk meluncurkan sensor yang mengukur kecepatan pesawat dalam tiga dimensi dengan menembakkan laser ke tanah. Sensor ini bekerja sama dengan sistem navigasi inersia untuk meningkatkan akurasi pada jarak yang lebih jauh.

"Tidak ada satu solusi yang cocok untuk semua masalah," kata Max Doemling, kepala bagian produk di Advanced Navigation, yang telah berkolaborasi dengan Q-CTRL sebelumnya.

Doemling mengatakan perusahaannya akan tertarik menggunakan sensor kuantum ketika teknologinya sudah siap.

Di Griffith, tidak semuanya berjalan mulus dalam uji terbang Q-CTRL. Pada satu titik, terjadi masalah komunikasi yang melibatkan sensor ujung sayap, sehingga sensor tersebut diganti dengan unit lain.

Beberapa ilmuwan Q-CTRL mengatakan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa sensor tersebut dapat menangani berbagai skenario yang mungkin dihadapi untuk kebutuhan militer.

"Bisakah ia bertahan dari peluncuran roket? Bisakah ia bertahan dari pendaratan darurat?" kata Yuval Cohen, seorang peneliti Q-CTRL.

"Kita tidak akan benar-benar tahu sampai kita melakukan pengujian," ia memungkasi.

(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Ancaman Siber Jadi Bom Waktu Transformasi Teknologi, Solusinya?


Most Popular