Internet Dimanipulasi Pemerintah, Netizen Dibungkam Habis-habisan
Jakarta, CNBC Indonesia - Kebebasan internet secara global merosot tajam. Laporan Freedom on the Net yang dirilis Freedom House menunjukkan bahwa untuk tahun ke-15 berturut-turut, ruang digital dunia semakin tertekan oleh kontrol pemerintah hingga manipulasi informasi. Laporan tahun ini bertajuk "An Uncertain Future for the Global Internet".
Laporan Freedom House menunjukkan kondisi yang semakin mengkhawatirkan. Dari 72 negara yang dinilai, kebebasan internet menurun di 27 negara.
Kenya mencatat penurunan terbesar, sementara Bangladesh menjadi negara dengan peningkatan paling signifikan setelah gerakan mahasiswa menggulingkan rezim represif pada Agustus 2024.
China dan Myanmar tetap menjadi negara dengan kondisi kebebasan internet terburuk, sementara Islandia menjadi yang paling bebas.
Situasi global pun tak kalah mengkhawatirkan. Sembilan dari 18 negara yang dikategorikan "Bebas" justru mengalami penurunan, termasuk Georgia, Jerman, dan Amerika Serikat.
Freedom House juga mencatat rekor baru, warga di setidaknya 57 negara ditangkap atau dipenjara karena ekspresi daring terkait isu sosial, politik, maupun agama selama periode Juni 2024 hingga Mei 2025.
Negara seperti Mesir, Pakistan, Rusia, Turki, dan Venezuela, yang selama 15 tahun terakhir mengalami kemunduran paling parah karena semakin memperketat kontrolnya.
Otoritas di negara-negara itu meningkatkan pengawasan komunikasi elektronik dan menjatuhkan hukuman lebih berat bagi masyarakat yang menyuarakan kritik, terutama selama momen pemilu dan aksi protes.
Manipulasi ruang digital juga meningkat signifikan. Indikator terkait penipuan daring mengalami penurunan paling konsisten selama 15 tahun terakhir.
Laporan mencatat lonjakan konten buatan AI serta influencer yang menyebarkan pesan pro-pemerintah tanpa transparansi. Kini, 70% populasi dunia hidup di negara yang pemerintahnya aktif berupaya memanipulasi informasi di internet.
Laporan itu juga memperingatkan anonimitas di internet memasuki fase krisis. Teknologi verifikasi identitas yang diadopsi luas, sebagian dengan alasan melindungi anak, dinilai mengancam kebebasan dan keamanan pengguna di ruang digital.
(dem/dem)