Ternyata Trump Doyan Bikin Video AI 'Palsu': Jadi Raja hingga Superman
Jakarta CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kini meningkatkan penggunaan konten yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI) sebagai strategi komunikasi inti di Gedung Putih. Pemanfaatan citra hyper-realistis ini menjadi senjata baru sepanjang pemerintahan keduanya, untuk memoles citra mantan pengusaha tersebut.
Penggunaan AI sangat terlihat terutama di saluran media sosialnya, Truth Social. AI dimanfaatkan untuk mengagungkan dirinya sendiri dan menyerang kritikus-kritikusnya, terutama terkait hal-hal kontroversi.
Mengutip AFP, Kamis (6/11/2025), sejumlah konten AI yang dipublikasikan oleh Trump atau Gedung Putih telah melewati batas antara kampanye politik dan distorsi realitas.
Bulan lalu, Trump memposting video palsu yang menunjukkan dirinya mengenakan mahkota dan menerbangkan jet tempur berlabel "King Trump", yang menjatuhkan sesuatu yang tampak seperti kotoran ke kerumunan pengunjuk rasa penentangnya.
Klip itu, diiringi lagu "Danger Zone" dari Kenny Loggins. Video diposting pada hari yang sama dengan protes nasional "No Kings" terhadap perilaku otoriter yang dituduhkan padanya.
Lalu, Gedung Putih juga memposting gambar AI yang menggambarkan Trump sebagai Superman di tengah spekulasi media sosial tentang kesehatannya. Gambar lain menunjukkan dirinya berpakaian seperti Paus, mengaum di samping singa, atau memimpin orkestra di Kennedy Center.
Selain itu, Trump secara rutin menggunakan AI untuk mengejek lawan-lawan politiknya. Pada bulan Juli, ia memposting video AI mantan Presiden Barack Obama ditangkap dengan mengenakan pakaian tahanan berwarna oranye.
Ia juga memposting klip AI Pemimpin Minoritas DPR Hakeem Jeffries, politisi AS yang berkulit hitam, mengenakan kumis palsu. Ia pun dikecam Jeffries sebagai seorang rasis.
Citra palsu yang dibuat ini berhasil menipu beberapa pengguna media sosial yang mempertanyakan keasliannya. Para kritikus menyebut bahwa AI generatif yang tidak diatur adalah alat yang sempurna bagi seseorang seperti Trump untuk menarik perhatian publik dan mendistorsi realitas.
"Trump memperdagangkan disinformasi secara online dan offline untuk meningkatkan citranya sendiri, menyerang musuh-musuhnya, dan mengendalikan wacana publik," kata penasihat senior di kelompok advokasi Free Press, Nora Benavidez.
Beberapa pengamat melihat strategi ini lebih sebagai kampanye melalui "trolling" daripada upaya aktif untuk menyebarkan keyakinan palsu.
"Saya melihat perilakunya lebih sebagai kampanye melalui trolling daripada upaya aktif untuk menyebarkan keyakinan palsu bahwa gambar-gambar ini menggambarkan realitas," jelas Joshua Tucker, co-direktur Pusat Media Sosial dan Politik New York University.
(sef/sef)