Cari Kerja Makin Susah, 'Neraka' Baru Menghantui Gen Z

Redaksi, CNBC Indonesia
10 September 2025 21:10
Antusiasme pencari kerja memadati Job Fair di GOR Ciracas, Jakarta Timur, Senin, (19/5/2025). Kegiatan ini digelar oleh Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi (Nakertransgi) DKI dari 19-25 Mei 2025. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Antusiasme pencari kerja memadati Job Fair di GOR Ciracas, Jakarta Timur, Senin, (19/5/2025). Kegiatan ini digelar oleh Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi (Nakertransgi) DKI dari 19-25 Mei 2025. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa kerja mengalami krisis di berbagai negara. Banyak lulusan kuliah yang kesulitan mencari pekerjaan. Di saat bersamaan, gelombang PHK juga masih terus berlanjut.

Faktor penyebabnya kompleks, mulai dari ketidakpastian ekonomi, konflik geopolitik, hingga perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang mulai menggantikan pekerjaan manusia.

Banyak pencari kerja berupaya menyebar resume ke ratusan perusahaan, tapi tak ada satu pun kabar baik yang diterima. Misalnya Harris yang mengaku sudah berbulan-bulan mencari pekerjaan pertama, sebelum lulus kuliah dari UC Davis.

Harris mengaku sudah menyiapkan resume terbaik, berisi pengalaman magang mentereng dan prestasi akademik yang membanggakan. Namun tetap saja upayanya sia-sia.

Dari 200 pekerjaan yang dilamar, Harris ditolak 200 kali. Menurut data Biro Statistik Ketenagakerjaan AS, tingkat perekrutan di 2025 menyentuh titik terendah sejak era pemulihan pasca Great Recession.

Mudah Melamar, Susah Diterima

Dikutip dari The Atlantic, Rabu (10/9/2025, platform perekrutan online saat ini mempermudah pencari kerja untuk melamar ke lowongan kerja (loker), tetapi makin sulit untuk mendapat posisi yang diincar.

"Para pelamar mengirimkan ribuan resume yang dirancang AI, dan bisnis menggunakan AI untuk menyaringnya. Apa yang dilakukan Bumble dan Hinge terhadap pasar kencan, praktik sumber daya manusia kontemporer juga telah dilakukan terhadap pasar kerja. Orang-orang menggesek data dengan liar dan tidak mendapatkan balasan apa pun," tertulis dalam laporan The Atlantic berjudul 'The Job Market Is Hell' oleh Annie Lowrey, dikutip Rabu (10/9/2025).

Bukan cuma Harris yang merasakan sulitnya mencari pekerjaan, meski sudah melamar ke mana-mana. Banyak orang yang memiliki nasib serupa. Tak cuma bagi kalangan fresh graduate, tetapi juga korban PHK yang ingin kembali memiliki mata pencarian.

Misalnya Marine, paralegal yang di-PHK oleh kontraktor pemerintah pada April lalu. Ia melihat banyak perekrutan yang cocok dengan kemampuan dan pengalamannya. Puluhan lamaran sudah dikirim. Beberapa memanggilnya untuk menjalahi proses perekrutan tahap kedua.

Namun, ujung-ujungnya tak ada yang sampai ke tahap final perekrutan. Marine memiliki pengalaman kerja selama 10 tahun. Namun, kini harus berjuang untuk diterima bekerja.

Perekrutan Pakai AI

Tak cuma dari sisi pelamar kerja, pemberi kerja juga merasakan perbedaan situasi di bursa kerja saat ini. Perusahaan menerima banyak sekali lamaran yang tidak sesuai untuk setiap lowongan.

Alih-alih memeriksa lamaran secara manual, mereka menggunakan mesin AI. Dalam survei terbaru, sejumlah kepala HR mengatakan kepada Boston Consulting Group bahwa mereka menggunakan AI untuk menulis deskripsi pekerjaan, menilai kandidat, menjadwalkan pertemuan perkenalan, dan mengevaluasi lamaran.

Dalam beberapa kasus, perusahaan juga menggunakan chatbot untuk mewawancarai kandidat. Calon karyawan masuk ke sistem seperti Zoom dan menjawab pertanyaan dari avatar. Kinerja mereka direkam, dan sebuah algoritma mencari kata kunci dan mengevaluasi nada bicara mereka.

Pakar karier di Indeed, Priya Rathod, mengatakan pihaknya memahami kenapa para pencari kerja merasa upaya mereka sia-sia. Namun, ia menekankan bahwa platform online memudahkan pencari kerja mencari loker.

"AI bisa membantu mereka maju ke tahap wawancara lanjutan dengan lebih cepat jika aplikasi mereka sesuai dengan kriteria pemberi kerja," kata Rathod kepada The Atlantic.

Siklus 'Neraka'

Namun, banyak pelamar kerja tidak pernah sampai pada proses wawancara langsung. Ketidakmungkinan mencapai tahap wawancara mendorong para pengangguran untuk mengirimkan lebih banyak lamaran, yang mendorong mereka untuk mengandalkan ChatGPT dalam penyusunan resume dan merespons panggilan penyaringan.

Harris mengatakan kepada penulis The Atlantic, Lowrey, bahwa ia juga menyusun resume dengan ChatGPT. Bahkan, Harris memanfaatkan ChatGPT hampir setiap hari saat masih kuliah. Harris menilai tulisan ChatGPT lebih 'profesional' ketimbang tulisannya sendiri.

Siklus 'neraka' ini terus berlanjut. Lonjakan aplikasi yang dibuat AI mendorong perusahaan untuk menggunakan filter berbasis AI untuk mengelola alur kerja. Semua orang berakhir di neraka pencarian kerja yang mirip bursa kencan seperti Tinder.

Lantas, apa yang seharusnya dilakukan seorang pekerja? Martine, Harris, dan jutaan orang lainnya masih mencoba memahami hal itu. Mereka terus melamar, karena hanya itu yang bisa dilakukan.

Rathod mengatakan bahwa ia merekomendasikan jejaring tradisional: mengajak perekrut minum kopi, menghadiri acara kerja tatap muka, dan mensurvei teman dan mantan atasan untuk mencari prospek.

Strategi semacam itu mungkin berhasil jika perusahaan mulai merekrut lagi. Namun jika tidak, jutaan orang lainnya mungkin akan membuang CV mereka begitu saja.


(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Terobosan Baru China: Robot Ikut Lari Marathon Bareng Manusia!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular