Safenet Sorot 6 Penindasan Digital Selama Aksi Demonstrasi di RI

Novina Putri Bestari, CNBC Indonesia
01 September 2025 08:20
Massa demonstrasi masyarakat sipil bertajuk "Revolusi Rakyat Indonesia" mulai berdatangan dan melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR/MPR RI, Senin (25/8/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Massa demonstrasi masyarakat sipil bertajuk "Revolusi Rakyat Indonesia" mulai berdatangan dan melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR/MPR RI, Senin (25/8/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Organisasi masyarakat sipil untuk memperjuangkan hak digital, Southeast Asia Freedom of Expression (SAFEnet) menyoroti praktik represi digital selama aksi demonstrasi satu minggu terakhir. Disebutkan aksi tersebut sebagai bentuk pembatasan kebebasan berekspresi.

"Sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak digital, SAFEnet melihat situasi sebagai pembatasan kebebasan berekspresi, otoritarianisme digital, serta militerisasi ruang siber Indonesia," kata SAFEnet dalam keterangan resminya di akun Instagram resmi, dikutip Senin (1/9/2025).

Dalam unggahan tersebut, SAFEnet memberikan beberapa pelanggaran serius pada hak digital masyarakat. Mulai dari kriminalisasi pada aktivis mahasiswa Universitas Riau Khariq Anhar, beredarnya kontak WhatsApp pegiat koalisi masyarakat sipil yang disebut anggota DPR membuat adanya spam, pelecehan dan gangguan keamanan, serta intimidasi digital pada mereka yang menyuarakan kritikan pada media sosial, termasuk ancaman, doksing, kekerasan online berbasis gender, dan serangan siber lainnya.

Gangguan akses internet dan informasi di ruang digital juga disinggung oleh SAFEnet, termasuk terkait moderasi konten, pembatasan konten, pemadaman listrik di beberapa wilayah seperti Jakarta dan Bandung, serta dugaan sabotase kabel optik server dengan dibakar.

Dimatikannya fitur Livestream Tiktok pada Sabtu malam juga berdampak karena menjadi salah satu cara dokumentasi demo dan merekam tindakan tindakan brutal penegak hukum. SAFEnet juga menyoroti kebijakan itu juga berdampak pada aspek ekonomi. Sebab pengusaha UMKM yang mengandalkan fitur tersebut kesulitan untuk mengakses.

Adanya indikasi pengalihan isu dari kekerasan polisi, dengan menyasar ke DPR dan pelabelan kelompok anarkis pada peserta aksi. Muncul juga narasi untuk melakukan tindakan kekerasan pada etnis Tionghoa dan militer yang sepertinya ikut mencari panggung.

Terakhir SAFEnet menyoroti adanya praktik overmoderasi konten di sejumlah platform media sosial, yakni Meta, Tiktok dan Youtube. Kejadian ini tak lama setelah Kementerian Komunikasi dan Digital menyebut akan memanggil platform digital untuk moderasi konten.

SAFEnet mendesak pemerintah serta kepolisian menyetop bentuk represi digital pada penanganan demonstrasi. Perusahaan media sosial juga diminta menghormati HAM dan tindak tunduh pada pemrintaan moderasi konten serta pembatasan fitur yang bertentangan dengan HAM.

Berikut adalah 6 represi digital yang disorot Safenet:

  1. Kriminalisasi terhadap Khariq Anhar, aktivis mahasiswa dari Universitas Riau dan pengelola akun media sosial Aliansi Mahasiswa Penggugat (AMP) menggunakan Pasal 32 Ayat (1) dan/atau Pasal 35 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (sebagaimana diubah dari waktu ke waktu, untuk selanjutnya disebut "UU ITE"). Khariq ditangkap pada 28 Agustus 2025 di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta setelah melakukan kampanye mengenai aksi protes bulan Agustus melalui akun Instagram AMP.
  2. Beredarnya kontak WhatsApp sejumlah pegiat koalisi masyarakat sipil yang secara keliru dipresentasikan sebagai milik sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, sehingga menimbulkan spam, pelecehan, sampai gangguan keamanan kepada mereka yang terdampak. Lebih lanjut, ditemukan berbagai macam intimidasi secara masif di ruang digital mulai dari pengancaman, pengungkapan data pribadi, kekerasan berbasis gender online, dan berbagai serangan digital lainnya yang menargetkan individu-individu yang menyampaikan kritik di media sosial.
  3. Adanya gangguan terhadap akses internet dan informasi di ruang digital. Moderasi konten, pembatasan akses terhadap sejumlah fitur, dan pemadaman listrik yang terjadi di beberapa bagian wilayah Jakarta dan Bandung yang menjadi titik sentral aksi menyebabkan hambatan arus informasi bagi masyarakat secara umum serta memperbesar potensi ancaman fisik kepada para peserta aksi. Selain itu, ditemukan dugaan sabotase kabel optik server dengan pembakaran yang berpotensi mengganggu jaringan internet serta memengaruhi arus komunikasi dan informasi di Jakarta. Pola ini serupa dengan pola-pola gangguan akses internet pada sejumlah demonstrasi selama beberapa tahun belakangan, di mana peserta kesulitan untuk terhubung ke Internet selama aksi berlangsung.
  4. Ditangguhkannya fitur siaran langsung milik TikTok, yang telah menjadi saluran alternatif untuk mendokumentasikan jalannya demonstrasi di jalanan berbagai kota di Indonesia dan merekam tindakan brutal aparat penegak hukum, atas alasan keamanan. Penangguhan ini selain membatasi akses informasi dan komunikasi, juga berimbas pada aspek ekonomi, di mana pengusaha UMKM yang mengandalkan fitur siaran langsung untuk berjualan telah terdampak.
  5. Terdapatnya indikasi adanya operasi informasi yang bertujuan mengalihkan perhatian publik dari isu kekerasan polisi. Narasi yang disebarkan berupaya mengarahkan fokus massa untuk menyasar DPR, alih-alih menuntut pertanggungjawaban atas brutalitas polisi. Pada saat yang sama, peserta aksi semakin sering dilabeli sebagai kelompok anarkis, sebagai upaya untuk mendelegitimasi tuntutan mereka. Selain itu, juga terdapat narasi hasutan untuk melakukan tindak kekerasan kepada etnis Tionghoa yang memunculkan trauma peristiwa 1998. Militer juga tampak mencari panggung. Narasi dari sejumlah akun media sosial, termasuk @PuspenTNI, yang menyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia hadir sebagai penengah, pencair suasana, dan turun ke titik-titik demonstrasi untuk mengamankan demonstrasi. Padahal, TNI tidak memiliki tugas pokok dan fungsi untuk mengamankan atau mencairkan suasana di titik-titik demonstrasi.
  6. Dikeluarkannya pernyataan dari Kementerian Komunikasi dan Digital mengenai rencana pemanggilan perwakilan Meta dan TikTok pada 26 Agustus 2025 untuk mendiskusikan pemberantasan konten yang dilabeli pemerintah sebagai disinformasi, fitnah, dan ujaran kebencian (DFK). Hanya dalam beberapa hari, moderasi konten berlebihan (overmoderation) terjadi di platform milik kedua perusahaan tersebut, antara lain Instagram, YouTube, dan TikTok. Sejumlah akun ditangguhkan dan banyak unggahan terkait kekerasan polisi diturunkan dengan dalih "penghasutan dan kekerasan". Selain itu, beberapa pengguna X (Twitter) juga mendapatkan notifikasi permintaan penurunan konten dari Komdigi. Padahal, konten-konten yang disebarkan merupakan ekspresi yang sah, termasuk dugaan video perintah penembakan dari Kapolri terhadap massa aksi.

Pernyataan Komdigi

Sejumlah pengguna internet juga sempat menduga pembatasan akses media sosial X saat aksi demonstrasi memanas beberapa hari lalu dilakukan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Pihak Kementerian telah membantah duggaan tersebut.

"Perlu diketahui tidak ada arahan dari Komdigi maupun pemerintah untuk menurunkan atau membatasi akses terhadap platform media sosial pada saat aksi di DPR tanggal 28 Agustus," kata Direktur Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komdigi, Alexander Sabar kepada awak media Jumat lalu.

Sementara itu, Menteri Komdigi Meutya Hafid menyebut penonaktifan fitur live Tiktok dilakukan sukarela oleh pihak platform. Dia mengharapkan kebijakan itu tak berlangsung lama.

Sebab dampak kebijakan penonaktifan fitur Live Tiktok juga dirasakan bagi pelaku UMKM. Diharapkan fitur itu bisa segera berangsur normal saat kondisi Indonesia sudah mulai membaik.

"Termasuk disampaikan bahwa live TikTok itu, kami pun melihat pemberitahuan yang dilakukan oleh TikTok. Bahwa mereka melakukan secara sukarela, untuk penurunan fitur live, dan kami justru berharap bahwa ini berlangsung tidak lama," ujar Meutya dikutip dari Detik.com.

"Jadi kalau kondisi berangsur baik, mudah-mudahan kita bisa kembali lagi fitur live TikTok dan pada saat ini negara, kami memahami bahwa ada UMKM yang terdampak yang berjualan secara live, tapi mudah-mudahan tetap bisa e-commerce tanpa live. Sekali lagi kita berdoa dan berharap mudah-mudahan kondisi membaik, sehingga fitur live TikTok bisa kembali," imbuhnya.

Dalam keterangan resminya, Juru Bicara Tiktok menjelaskan alasan penangguhan fitur Live sebagai langkah pengamanan tambahan untuk platform tetap menjadi ruang yang aman dan beradab.

"Sehubungan dengan meningkatnya kekerasan dalam aksi unjuk rasa di Indonesia, kami mengambil langkah-langkah pengamanan tambahan untuk menjaga TikTok tetap menjadi ruang yang aman dan beradab. Sebagai bagian dari langkah ini, kami secara sukarela menangguhkan fitur TikTok LIVE selama beberapa hari ke depan di Indonesia. Kami juga terus menghapus konten yang melanggar Panduan Komunitas dan memantau situasi yang ada," kata Juru Bicara Tiktok.

Pantauan CNBC Indonesia, fitur Live belum juga bisa diakses hingga Senin pagi (1/9/2025).


(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penjelasan Ilmiah Kenapa Waktu Mendadak Hilang 2 Jam Saat Main Medsos

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular