
Trump Ancam Perang Tarif Baru, Indonesia Bisa Kena

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden AS Donald Trump kembali mengumumkan 'perang' tarif bagi negara-negara yang memiliki regulasi terkait pajak digital. Negara-negara yang dimaksud akan diganjar tarif tambahan lanjutan.
Menurut beberapa sumber sebelumnya, pemerintahan Trump mempertimbangkan sanksi terhadap Uni Eropa atau pejabat negara anggota yang bertanggung jawab untuk melaksanakan Undang-Undang Layanan Digital (Digital Services Act) di kawasan tersebut.
Banyak negara, terutama di Eropa, yang mengenakan pajak atas pendapatan penjualan penyedia layanan digital dari Google milik Alphabet, Facebook milik Meta, Apple dan Amazon. Masalah ini telah lama menjadi hambatan perdagangan bagi pemerintahan AS.
"Dengan ini, saya memberi tahu semua negara yang memiliki pajak, undang-undang, aturan, atau regulasi digital bahwa kecuali tindakan diskriminatif ini dihapuskan, saya, sebagai Presiden Amerika Serikat, akan mengenakan tarif tambahan yang substansial terhadap ekspor negara tersebut ke AS, dan menerapkan pembatasan ekspor terhadap teknologi dan chip kami yang sangat dilindungi," ujar Trump dalam sebuah unggahan di media sosial, dikutip dari Reuters, Selasa (26/8/2025).
Trump mengklaim aturan pajak digital dirancang untuk membahayakan dan mendiskriminasi teknologi AS. Hal tersebut juga dinilai memuluskan langkah China untuk menyaingi teknologi AS.
Sebelumnya, Trump juga sudah mengancam pengenaan tarif untuk negara-negara seperti Kanada dan Prancis terkait kasus berbeda, tetapi masih berhubungan dengan pajak layanan digital.
Pada Februari lalu, Trump memerintahkan kepala perdagangannya untuk menghidupkan kembali penyelidikan yang bertujuan mengenakan tarif impor dari negara-negara yang mengenakan pajak layanan digital pada perusahaan teknologi AS.
RI Dorong Penerimaan Pajak Digital
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia tengah mendorong penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital yang pertumbuhannya makin pesat. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal menjelaskan bahwa ekonomi digital bahkan kini menjadi salah satu penggerak utama perekonomian nasional.
Berdasarkan data yang diolah oleh Kementerian Keuangan, nilai transaksi ekonomi digital meningkat pesat dalam 5 tahun terakhir. Pada tahun 2019, nilai ekonomi digital mencapai Rp 556 triliun atau hanya 3,5% terhadap Produk Domestik Bruto.
Sementara pada tahun 2024, nilai transaksi ekonomi digital mencapai Rp 1.454,6 triliun atau mencapai 6,6% terhadap PDB.
Kendati demikian, pajak digital yang dicanangkan ini tak secara spesifik menyasar raksasa teknologi AS seperti Facebook dan Google. Sebab, pemerintah Indonesia lebih fokus pada pajak digital yang transaksinya tercatat. Sementara untuk aplikasi seperti Facebook dan Google tidak memiliki proses transaksi di Indonesia layaknya e-commerce.
Yon menyoroti tiga kebijakan baru untuk mendukung penerimaan negara, masing-masing melalui pajak digital, pajak kripto, dan pajak minimum global.
Dalam implementasinya, pajak digital diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Platform e-commerce (PMSE) baik dalam maupun luar negeri, ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari peredaran bruto penjualan oleh pedagang dalam negeri.
"Sebenarnya bukan suatu jenis pajak yang baru juga sehingga ini hanya mengatur cara laporan pajaknya dan ini memberikan kemudahan bagi wajib pajak yang ingin memenuhi kewajiban perpajakannya," kata Yon.
Selain itu, pemerintah juga mulai mengatur perpajakan untuk aset kripto melalui PMK 50 tahun 2025. Khusus untuk ketentuan PPN, aset kripto dipersamakan dengan surat berharga, sehingga tidak dikenakan PPN.
Namun, atas penyerahan jasa kena pajak berupa jasa penyediaan sarana elektronik yang digunakan untuk memfasilitasi transaksi perdagangan aset kripto oleh penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) maupun jasa kena pajak berupa jasa verifikasi transaksi aset kripto oleh penambang aset kripto tetap dikenakan PPN.
Mulai tahun lalu, pemerintah juga menerapkan PMK Nomor 136 Tahun 2024 terkait pajak minimum global 15% bagi perusahaan multinasional dengan omzet konsolidasi lebih dari €750 juta yang berlaku mulai 2025.
Yon Arsal menjelaskan bahwa lebih dari 50 negara juga sudah mengumumkan akan menerapkan global minimum tax.
"Saat ini sedang dalam diskusi mencari sebuah skema insentif yang paling tepat yang bisa memberikan tadi untuk tetap mendorong atau meningkatkan daya beli masyarakat di sisi lain mendorong juga investasi tetap masuk ke Indonesia," ujarnya.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekonomi Digital Asia Tenggara Bisa Semakin Terbuka Lewat Ini
