
Perusahaan Bangkrut, Duit Nasabah Lenyap Rp 1,5 Triliun Tak Bersisa

Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus kebangkrutan perusahaan fintech, Synapse, masih menyisakan luka mendalam bagi para nasabah yang berjuang menuntut ganti rugi.
Synapse kolaps pada April 2024 silam. Kerugian nasabah ditaksir mencapai Rp1,5 triliun. Hingga sekarang kasus ini masih terus bergulir.
Kabar terbaru pada 10 April 2025, dikutip dari laman Pymnts, Wali Amanat Jelena McWilliams mengajukan laporan ke Pengadilan Kepailitan California Tengah yang menjadi dasar pembatalan atau konversi kasus ke Bab 7.
Bab 7, yang sering disebut sebagai "kebangkrutan likuidasi", melibatkan penjualan aset perusahaan yang tidak dikecualikan untuk membayar kreditor. Mekanisme ini biasanya mengakibatkan penghentian operasi bisnis.
Sebaliknya, Bab 11 adalah "kebangkrutan reorganisasi", yang memungkinkan perusahaan untuk terus beroperasi sambil merestrukturisasi utang mereka di bawah pengawasan pengadilan. McWilliams menilai Bab 11 sudah tidak memungkinkan dilakukan untuk kasus Synapse.
Sebelum kebangkrutannya, Synapse menghubungkan perusahaan fintech lain dengan bank, serta menyimpan uang nasabah untuk startup tersebut. Pada puncaknya, perusahaan mengelola miliaran dolar AS. Ketika perusahaan tersebut kolaps pada April 2024, ribuan orang kehilangan akses ke rekening mereka.
Seorang mediator yang ditunjuk pengadilan kemudian mengungkapkan bahwa dana pelanggan hingga US$96 juta (Rp1,5 triliunan) yang dikelola oleh Synapse kemungkinan hilang, dan beberapa orang mengatakan keruntuhan tersebut telah menghabiskan seluruh tabungan mereka.
Awal Mula Kebangkrutan Synapse
Masalah ini bermula saat Synapse dan Evolve Bank terlibat perselisihan terkait saldo nasabah. Synapse diketahui membantu startup fintech Yotta dan Juno menawarkan rekening giro dan kartu debit dengan menghubungkan pada layanan pemberi pinjaman kecil seperti Evolve.
Akhirnya, perusahaan fintech itu mematikan akses ke sistem utama untuk memproses transaksi. Perpindahan klien secara besar-besaran terjadi dan membuat Synapse bangkrut.
Ditemukan pula masih ada dana nasabah yang hilang hingga US$96 juta. Masalah ini akhirnya berada di meja pengadilan. Meski begitu, uang yang hilang belum diketahui keberadaannya.
Salah satu nasabah bernama Kayla Morris harus kehilangan uangnya senilai US$282.153,87 (Rp 4,6 miliar). Berbicara saat sidang, ia mengatakan akunnya terkunci selama enam bulan setelah masalah itu terjadi.
Harapannya uang miliknya masih aman. Namun ternyata uang miliknya kemungkinan tak kembali utuh, karena Evolve disebut hanya akan membayar US$500 (Rp8,1 juta).
"Kami diberitahu bahwa Evolve hanya akan membayar kami US$500 (Rp8,1 juta) dari US$280 ribu. Ini sangat hancur," kata Morris dikutip dari CNBC Internasional, beberapa saat lalu.
Hal serupa juga terjadi pada salah seorang nasabah Yotta, Zach Jacobs. Ia mengaku memiliki tabungan US$94.468,92 (Rp 1,5 miliar), namun hanya akan mendapatkan US$128,68 (Rp2,1 juta).
Ia lantas mulai bertindak membuat perkumpulan dengan korban lainnya agar bisa mendapat perhatian dari pihak pers dan politisi.
Ada 3.454 orang yang mendaftar kelompok bernama Fight For Our Funds itu. Total dana yang hilang mencapai US$30,4 juta (Rp497 miliar).
Model Bisnis Synapse
Synapse didirikan pada 2014 dan dibekingi firma modal ventura Andreessen Horowitz. Tujuan perusahaan adalah menjadi 'middleman' perusahaan fintech seperti Juno dan Yotta agar bisa memberikan jasa perbankan meskipun tidak memegang izin perbankan.
Platform fintech yang tidak memiliki izin perbankan tidak dilindungi oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC). Jika sebuah bank besar di AS gagal, nasabah yang menyimpan uang di bank tersebut tidak akan mempunyai kantong kosong. FDIC akan mengganti uang mereka hingga US$250.000 per deposan, per lembaga perbankan.
Sebagai konsekuensi, perusahaan fintech harus bermitra dengan bank-bank yang diasuransikan FDIC untuk memegang uang nasabah mereka ke akun khusus yang memberikan perusahaan kemampuan untuk mengelola pendanaan tersebut. Perusahaan fintech juga membutuhkan 'middleman' seperti Synapse.
Sebelum bangkrut, Synapse memiliki kontrak dengan 100 perusahaan fintech yang memiliki sekitar 100 juta nasabah, menurut dokumen yang dimasukkan pada April 2024.
Saat mendeklarasikan kebangkrutan pada April 2024, 4 mitra bank kehilangan akses ke sistem kritis mereka yang digunakan untuk mengidentifikasi rekam jejak perusahaan.
Artinya, nasabah pengguna aplikasi seperti Yotta tak bisa mengakses uang mereka. Setelah kekacauan itu, banyak mitra bank yang bekerja sama dengan Synapse yang berupaya melakukan rekonsiliasi dengan pelanggan.
Sebuah laporan yang diajukan oleh gugatan Troutman Pepper, yang diterbitkan pada September 2024, menemukan bahwa antara US$65 juta dan US$95 juta dari US$265 juta masih belum ditemukan.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article KPPU Segera Sidang Kartel Bunga Pinjol, 97 Fintech Terseret
