
China Jajah Dunia, AS di Ambang Kekalahan Mutlak

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang teknologi antara Amerika Serikat (AS) dan China membawa hambatan besar bagi perkembangan sistem kecerdasan buatan (AI) di negara kekuasaan Xi Jinping.
Pada Juli 2024 lalu, OpenAI yang merupakan raksasa AI asal AS memblokir para pengembang asal China, termasuk dari Hong Kong dan Makau, untuk menggunakan model GPT perusahaan.
Padahal, pengembang dari berbagai negara lain seperti Afghanistan hingga Zimbabwe diberikan akses oleh OpenAI. Hal ini mencerminkan upaya OpenAI untuk melindungi model-model canggihnya dari penyalahgunaan oleh China, serta negara-negara musuh AS lainnya seperti Iran, Rusia, dan Korea Utara.
Namun, China pantang menyerah. Hambatan dari AS justru dijadikan motivasi untuk mengembangkan model AI lokal yang mumpuni.
Pada Desember 2024, DeepSeek asal China berhasil meluncurkan model bahasa besar (LLM) V3. Lalu, pada Januari 2024, DeepSeek menggemparkan dunia dengan merilis model R1.
R1 merupakan model reasoning AI yang mampu menyaingi kemampuan o1 milip OpenAI. R1 diperkenalkan dalam bentuk sumber terbuka (open source) yang menjadi tren di kalangan model AI China selanjutnya.
Tren ini tidak hanya memicu gelombang aplikasi AI di China, tetapi juga mendefinisikan ulang lanskap AI global, serta memenangkan dukungan pengembang di seluruh dunia.
Model open source dari China menghadirkan alternatif yang layak bagi sistem tertutup yang diusung oleh raksasa teknologi AS seperti OpenAI dan Google.
Model AI open source memungkinkan semua orang untuk menggunakan, memodifikasi, dan mendistribusikan kode yang disediakan perusahaan. Hal ini mendorong pendekatan kolaboratif untuk pengembangan AI.
Di masa lalu, sistem komputer open source seperti Linux gagal bersaing dengan raksasa seperti Windows milik Microsoft. Namun, pendekatan open source pada model AI yang dibawa oleh China diprediksi akan berhasil.
Analis mengatakan AI China yang bebas digunakan mendatangkan ancaman serius bagi pesaing dari AS, dikutip dari South China Morning Post, Senin (21/7/2025).
CEO Nvidia asal AS, Jensen Huang, blak-blakan memuji perkembangan AI open source dari China. Huang juga mengungkapkan komitmennya untuk terus berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan China, terlebih ketika pemerintah AS sudah membuka akses untuk penjualan chip H20 ke China.
Huang mendeskripsikan LLM asal perusahaan China seperti DeepSeek, Alibaba Group Holding, Tencent Holdings, Minimax, dan Baidu, sudah 'berkelas dunia'.
Dalam gelaran Supply Chain Expo di Beijing beberapa saat lalu, Huang mengatakan gerakan AI open source dari China menjadi katalis untuk pertumbuhan AI global.
Pasalnya, AI open source membuka peluang bagi semua negara dan industri untuk bergabung dalam revolusi AI.
AS Makin Tertinggal
Berbeda dengan langkah cepat perusahaan China dalam merilis model open source, pendiri sekaligus CEO OpenAI Sam Altman akhir pekan lalu mengumumkan penundaan peluncuran LLM open sourve yang dijadwalkan dalam beberapa hari mendatang, dengan alasan masalah keamanan dan perlunya pengujian tambahan.
Bagi startup China seperti DeepSeek, mengadopsi pendekatan open source merupakan strategi efektif untuk mengejar ketertinggalan, karena memungkinkan mereka memanfaatkan kontribusi dari komunitas pengembang yang lebih luas, menurut Kevin Xu, pendiri firma investasi teknologi Interconnected Capital.
Sejak OpenAI meluncurkan ChatGPT pada November 2022, para pengembang AI open source asal China telah membuat kemajuan pesat dalam mengembangkan model mereka.
"Sebagian besar model AI open source dari China kini berada pada atau mendekati kemampuan tingkat pemula," ujar Xu, menyaingi sistem proprietary dari para pemain top AS.
"Rangkaian rilis model AI bobot terbuka terbaru menunjukkan makin matangnya adopsi dan kontribusi open source di China," tambahnya.
R1-0528 terbaru dari DeepSeek menduduki peringkat tertinggi sebagai model AI open source. Dalam tolok ukur yang dibuat oleh konsultan AI Artificial Analysis, secara keseluruhan model R1-0528 DeepSeek hanya berada di belakang model dari xAI milik Elon Musk, OpenAI, dan Google.
Perusahaan China lainnya, seperti Alibaba, MiniMax, dan Moonshot AI, juga menunjukkan kinerja yang baik dalam pengujian ini.
Menurut OpenRouter, saat ini DeepSeek menduduki peringkat ke-2 sebagai model AI developer terbesar, dengan pangsa pasar 24,3%. Nomor 1 masih diduduki Google asal AS dengan pangsa pasar 36,4%.
Selanjutnya, Anthropic asal AS di posisi ke-3 dengan pangsa pasar 19,2%, lalu OpenAI (5,1%), Meta-Llama (3,3%), Mistral (3,2%), xAI (2,3%), Moonshot AI (2,2%) dan Qwen (1,6%).
Ekosistem open source China yang luas mencakup model dengan parameter berkisar antara 1 miliar hingga 1 triliun, dengan aplikasi di berbagai sektor yang mencakup manufaktur cerdas dan tata kelola digital, menurut Zheng Xiaolong, seorang peneliti di Laboratorium Kunci Negara Sistem Kecerdasan Buatan Multimoda, yang berafiliasi dengan Akademi Ilmu Pengetahuan China.
Strategi open source memungkinkan perusahaan China menarik pengembang dalam dan internasional, serta memperluas jangkauan dan adopsi mereka, kata Ray Wang, direktur penelitian semikonduktor, rantai pasokan, dan teknologi baru di konsultan Futurum Group.
Kesuksesan DeepSeek mendorong para pesaing dari AS seperti OpenAI untuk mengevaluasi kembali strategi mereka, ujar Jimmy Hu, kepala divisi AI di Phoenix, pengembang infrastruktur AI terdesentralisasi yang berbasis di Shanghai.
Agar tetap terdepan, perusahaan-perusahaan AS diharapkan untuk terus merilis model berbayar yang kompetitif atau sedikit lebih unggul dibandingkan produk dari pesaing open source seperti DeepSeek, tambahnya.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Turis China Serbu Kampung Dewa AI, Pulang Bawa Batu