El Nino Kedua Ditemukan di Dekat RI, Begini Dampaknya

Redaksi, CNBC Indonesia
Senin, 29/07/2024 15:20 WIB
Foto: Ilustrasi el nino. (Foto: Tangkapan layar web noaa.gov)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kelompok peneliti menemukan fenomena iklim yang mirip dengan El Nino. Pusatnya dimulai dari laut yang memanas di dekat Selandia Baru dan Australia.

Hal ini memicu gelombang perubahan temperatur di selatan garis khatulistiwa, dikutip dari Live Science, Senin (29/7/2024).


Pakar iklim telah mendeteksi pola yang memengaruhi fluktuasi pada temperatur permukaan laut di area tersebut sejak 2021. Namun, mereka kala itu tak mengetahui penyebabnya.

Dalam studi terbaru yang dipublikasikan awal bulan ini di Journal of Geophysical Research: Oceans, peneliti berhasil membuat simulasi pola untuk pertama kalinya.

Mereka menamai fenomena iklim tersebut sebagai 'Southern Hemisphere Circumpolar Wavenumber-4 Pattern' atau disingkat SST-W4.

"Penemuan ini seperti mendeteksi pergantian baru pada iklim Bumi," kata kepala peneliti Balaji Senapati.

"Ini menunjukkan area kecil samudra dapat menciptakan efek yang meluas pada cuaca global dan pola iklim," ia menjelaskan.

Pola SST-W4 memiliki karakteristik yang mirip El Nino, siklus iklim di Samudra Pasifik yang memengaruhi pola cuaca di seluruh dunia dan memiliki efek panas.

Bedanya, pola SST-W4 terjadi secara independen dari El Nino atau pola cuaca lainnya.

Untuk mendeteksi pola SST-W4, para peneliti menggunakan emulator iklim yang dinamai SINTEX-F2 untuk membuat simulasi kondisi iklim sepanjang 300 tahun.

Simulasi itu menunjukkan fluktuasi perubahan temperatur permukaan laut dari tahun ke tahun antara Desember hingga Januari. Hal ini disebabkan oleh pola melingkar dari empat area hangat dan dingin yang berselang-seling.

Pola seperti gelombang ini muncul dari titik awalnya di Pasifik subtropis barat daya dan bergerak mengelilingi belahan Bumi Selatan saat angin kencang, menurut pernyataan itu.

Dengan penemuan dari simulasi pola SST-W4, peneliti bisa memprediksi cuaca dengan lebih baik di belahan selatan garis khatulistiwa.

"Memahami sistem cuaca baru ini dapat meningkatkan prakiraan cuaca dan prediksi iklim secara signifikan, khususnya di Belahan Bumi Selatan," kata Senapati.

"Ini mungkin membantu menjelaskan perubahan iklim yang sebelumnya misterius dan dapat meningkatkan kemampuan kita untuk memprediksi cuaca ekstrem dan kejadian iklim," ia menjelaskan.


(fab/fab)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Cisco & Pemanfaatan AI Demi Percepat Digitalisasi Indonesia