Orang Takut Lubang Bikin Bingung, Peneliti Beberkan Penyebabnya

Intan Rakhmayanti Dewi, CNBC Indonesia
12 July 2024 06:45
Aktifitas warga bermain di RTH Kalijodo, Jakarta, Kamis (13/6). Sempat dikabarkan tidak terawat pada 2018, kondisi ruang terbuka hijau (RTH) dan RPTRA Kalijodo sekarang sudah mulai teratur. Pantauan CNBC Indonesia di lokasi, tidak tampak ada kerusakan dari sarana ataupun area di sekitar RTH dan RPTRA. Taman-taman terlihat terawat dan bersih. Arena skateboard yang rusak dan memiliki lubang-lubang pun terlihat sudah ditambal oleh petugas RTH. Sore ini juga tampak keramaian dari warga yang sedang melakukan kegiatan mereka di sana. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Aktifitas warga bermain di RTH Kalijodo, Jakarta, Kamis (13/6). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Banyak orang yang menyadari bahwa dirinya mengalami trypophobia atau ketakutan yang ditandai dengan keengganan terhadap kumpulan lubang kecil. Tapi kira-kira apa ya penyebabnya?

Kesadaran akan fobia ini telah menyebar luas dalam beberapa tahun terakhir, sehingga menciptakan sumber penelitian yang menarik bagi masyarakat umum dan komunitas ilmiah.

Penelitian baru berpendapat bahwa asal mula fobia ini dapat dijelaskan oleh dua hipotesis, yakni hipotesis "hewan berbahaya" dan hipotesis "penghindaran penyakit kulit".

Menurut psikologi evolusi, otak manusia mungkin masih menerapkan algoritma mental tertentu yang kita sebagai makhluk hidup peroleh selama sejarah evolusi.

Ini berarti bahwa meskipun saat ini tidak lagi hidup dalam lingkungan dan kondisi yang sama dengan nenek moyang terdahulu, perilaku kita tetap dapat dipicu oleh hal-hal tertentu di dunia.

Fobia ular atau laba-laba, misalnya, mungkin merupakan sisa-sisa dari masa lalu evolusi kita. Bahkan, banyak peneliti percaya kita mungkin mewarisi respons rasa takut sebagai mekanisme untuk menjaga kita tetap aman dari makhluk-makhluk ini yang pernah memberi tekanan pada kita di masa lalu.

Bahkan rasa takut terhadap ketinggian dapat dijelaskan oleh proses ini, tetapi apakah proses ini berlaku untuk setiap sumber rasa takut?

Hal inilah yang mendorong penelitian terbaru yang dilakukan oleh para psikolog evolusi di Prancis dan Slovakia. Mereka ingin melihat apakah fobia seperti trypophobia dapat memiliki akar evolusi yang serupa.

Penyebab orang takut lubang

Fobia ini sebagian besar tidak diketahui hingga munculnya internet pada tahun 2000-an.

Trypophobia mungkin tampak seperti fobia yang tidak biasa, tetapi sebagian besar manusia ternyata mengalami beberapa gejalanya. Ini menunjukkan bahwa mungkin ada reaksi yang melekat dan bahkan adaptif terhadap rangsangan tertentu.

Menurut penelitian, pola pemicu trypophobia dan gambar hewan berbisa dapat memicu respons saraf serupa, yang dapat mengindikasikan mekanisme penghindaran spesifik yang dikembangkan oleh nenek moyang kita.

Ketika orang melihat pola ini dalam foto, atau pada hewan seperti ular, misalnya, mereka mengalami peningkatan negativitas posterior awal, yakni respons saraf yang terjadi ketika kita secara otomatis memproses informasi visual yang mengancam. Respons yang mengakar ini dapat mengindikasikan perilaku adaptif.

Trypophobia juga dapat dijelaskan oleh hipotesis "penghindaran penyakit kulit", yang menunjukkan bahwa rasa takut berevolusi dari mekanisme untuk menghindari penyakit menular.

Parasit dan penyakit tertentu menciptakan pola pada kulit yang menyerupai kelompok lubang. Penyakit menular serius seperti cacar, wabah, kusta, tifus, dan rubella semuanya menghasilkan stigmata melingkar atau kelompok pustula pada kulit.

Menariknya, penelitian telah menunjukkan bahwa reaksi trypophobia cukup mirip dengan reaksi jijik, yang juga merupakan respons utama dalam penghindaran penyakit.

Pada saat yang sama, penelitian lain telah menunjukkan bahwa orang yang memiliki kepekaan lebih tinggi terhadap rasa jijik terhadap penyakit lebih mungkin mengalami trypophobia, yang memperkuat gagasan bahwa keduanya saling terkait.

Namun, trypophobia belum diakui sebagai fobia yang sah oleh semua orang. Bahkan, fobia ini tidak tercantum dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-5).

Para peneliti dalam studi terbaru ini berpendapat sebaliknya, mereka yakin bahwa tripofobia memenuhi banyak kriteria diagnostik yang seharusnya menjadikannya fobia yang "sejati".


(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Lubang Raksasa Terdalam Dunia Terkuak, Muat Monas Tiga Tumpuk!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular