
Jakarta Hujan Terus Walau Kemarau, BMKG Kasih Warning

Jakarta, CNBC Indonesia - Musim kemarau sering dikaitkan dengan cuaca kering dan panas yang panjang, namun dalam sepekan terakhir beberapa wilayah Indonesia malah diguyur hujan dengan intensitas sedang hingga lebat dan bahkan sangat lebat.
Hal itu terungkap dalam Prospek Cuaca Mingguan Periode 2-8 Juli dari BMKG bertajuk "Kemarau tidak selalu kering: hujan masih berpotensi di musim kemarau."
Menurut BMKG, kondisi ini menjadi pengingat bahwa cuaca di Indonesia sangat dinamis sehingga mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada terhadap perubahan cuaca yang dapat berubah dengan cepat.
"Walaupun beberapa wilayah di Indonesia sebagian sudah memasuki musim kemarau, masyarakat masih perlu waspada dan antisipasi dini terhadap potensi cuaca ekstrem yang masih terjadi di beberapa wilayah seperti hujan lebat dalam durasi singkat yang dapat disertai kilat/petir dan angin kencang, angin puting beliung, dan fenomena hujan es," ujar BMKG dalam laporan tersebut, dikutip Rabu (3/7/2024).
Hujan sendiri diperkirakan masih bakal mengguyur sejumlah wilayah beberapa hari ke depan, salah satunya DKI Jakarta. Menurut BMKG, potensi hujan dalam intensitas sedang - lebat yang dapat disertai kilat/petir dan angin kencang.
Selain Jakarta, wilayah Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Aceh hingga Riau dan Kep. Riau akan mengalami potensi hujan dalam intensitas sedang - lebat.
Sementara potensi angin kencang diprediksi terjadi di wilayah Bali, NTB, NTT, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua Selatan.
Alasan hujan di musim kemarau
BMKG mengungkap sejumlah fenomena atmosfer menjadi pemicu peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia.
Pertama, gelombang atmosfer Madden Julian Oscillation (MJO) yang berada pada fase 3 (Samudra Hindia) yang berkontribusi terhadap pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia.
Kedua, aktivitas gelombang atmosfer Rossby Ekuatorial. Ini terpantau aktif di Sumatra, Kalimantan, Jawa, NTB, NTT, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua Selatan.
Juga adanya gelombang Kelvin yang terpantau di Lampung, Jawa, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku menjadi penyebabnya.
Dan terakhir, sirkulasi siklonik terpantau di Selat Makassar Barat dari Sulawesi Barat. Sirkulasi tersebut membentuk daerah perlambatan kecepatan angin (konvergensi) dan daerah pertemuan angin (konfluensi), yang memicu pembentukan awan hujan.
(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BMKG Ungkap Musim Kemarau 2024 Beda dari 2023, Kapan Puncaknya?