Badak Afrika Disuntik Radioaktif, Alasannya Ternyata Mulia
Jakarta, CNBC Indonesia - Ilmuwan Afrika Selatan menyuntikkan bahan radioaktif ke cula badak yang masih hidup. Tujuannya adalah mencegah penyelundupan cula hasil perburuan liar ke luar negeri.
Menurut AFP, Afrika Selatan adalah habitat badak terbesar di dunia. Oleh karena itu, negara di ujung selatan Benua Afrika ini adalah sarang aktivitas perburuan liar.
Mayoritas cula badak hasil perburuan liar diselundupkan ke wilayah Asia. Permintaan atas cula badak di Asia sangat tinggi karena bagian tubuh ini digunakan untuk meramu obat tradisional.
James Larkin dari University of Witwatersrand memulai program dengan memasukkan dua chip radiasi ke dalam cula badak di fasilitas rehabilitasi dan perawatan satwa Limpopo khusus badak di wilayah timur laut Afsel.
Nithaya Chetty dari universitas yang sama menyatakan bahwa chip radioaktif membuat cula tersebut beracun dan tak bisa dikonsumsi manusia.
Chip ditanamkan saat badak tertidur. Menurut Larkin, sang badak tidak merasa sakit.
Material radioaktif ditanamkan dalam jumlah yang sangat sedikit sehingga tidak mengganggu kesehatan dan berdampak ke lingkungan sekitarnya.
Data Kementerian Lingkungan Hidup Afsel menyatakan sekitar 499 badak terbunuh pada 2023 meskipun tinggal di wilayah konservasi, naik 11 persen dibanding 2022.
Proyek yang diberi nama Rhisotope ini baru di tahap percontohan. Rencananya, radiasi akan ditanam di cula 20 badak.
Besar radiasi yang ditanamkan, menurut Larkin, "Cukup banyak untuk memicu alarm radiasi di perbatasan negara seluruh dunia, termasuk bandara, yang aslinya dipasang untuk mencegah terorisme menggunakan nuklir."
Menurut Science Alert, cula badak adalah salah satu komoditas paling banyak dicari di dunia bersaing dengan emas dan kokain.
Pendiri pusat rehabilitasi, Arrie van Deventer, menyatakan mereka sudah mencoba berbagai cara untuk menekan perburuan liar termasuk memotong dan meracuni cula. Namun, semua upaya tersebut gagal.
"Mungkin ini bisa menyetop perburuan liar. Ini adalah ide terbaik yang pernah saya dengar," kata van Deventer.
(dem/dem)