
Sebut Tidak Adil, Pengusaha Ungkap Perlakuan Spesial Buat Starlink

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengusaha layanan satelit membeberkan sederet perlakuan spesial yang dinikmati Starlink dari pemerintah. Perlakuan spesial ini dinilai membuat perusahaan lokal sulit bersaing.
Sekjen Asosiasi Satelit Seluruh Indonesia (ASSI) Sigit Jatiputro mengatakan banyak potensi persaingan yang tidak adil yang dirasakan oleh pengusaha lokal terkait masuknya Starlink ke Indonesia.
Sederet tanda persaingan tidak sehat tersebut disampaikannya dalam pertemuan di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Salah satunya adalah Starlink menawarkan layanan dan perangkat dengan harga yang jauh lebih murah di Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Harga layanan Starlink di AS 2,5 kali lebih mahal dari harga layanan di Indonesia.
"Salah satunya adalah perbedaan harga di AS dan harga Starlink di Indonesia untuk layanan dua hal, yaitu residensial dan bisnis. Harga layanan yang di Indonesia jauh lebih murah dibanding dengan harga di negara asalnya," kata Sigit.
Kemudian, harga yang ditawarkan Starlink juga jauh di bawah harga layanan yang ditawarkan oleh perusahaan satelit lokal.
"Di mana, harga saat ini memang baik dari sisi harga perangkat maupun harga jual jauh berbeda harganya Starlink dengan yang di lokal," kata Sigit, Rabu (29/5/2024).
Dia menjelaskan harga layanan dari pemain lokal paling murah senilai Rp 3,5 juta. Sebagai informasi Starlink membanderol Rp 750 ribu untuk paket paling dasar untuk pribadi dan bisnis paling murah senilai Rp 1,1 juta.
Ini berdampak pada perusahaan lokal dengan harga yang berbeda jauh. Harga rendah membuat pemain yang sudah ada tidak bisa bertumbuh.
Dia tak menyebut dengan pasti berapa persen penjualan karena Starlink baru resmi beroperasi di tanah air selama 1-2 minggu. Namun dalam waktu singkat, banyak pengguna yang telah beralih menggunakan layanan milik miliarder Elon Musk itu.
"Terasa pelanggan baru pindah semua ke Starlink. Kalau dibilang berapa persen nanti kita lihat, tapi lebih signifikan banget," jelasnya.
Dia juga menyinggung soal hak labuh atau landing rights. Dia mempertanyakan aturan hak labuh yang didapatkan oleh Starlink.
"Biasanya landing right di kami diberikan kepada setiap satelit yang baru meluncur. Misalnya, kami meluncurkan satelit GEO, itu satu satelit didaftarkan frekuensi dan prosesnya satu per satu. Nanti masa berakhirnya habis ketika sudah tidak ada satelitnya, atau 10 tahun bisa diperpanjang atau harus mengurus lagi," ungkap Sigit.
Di sisi lain, Starlink terus menambah satelit baru dengan spesifikasi baru tiap beberapa bulan. Menurutnya, Starlink harus memiliki izin untuk tiap satelit yang mereka gunakan di Indonesia.
"Nah, kalau di Starlink, menurut kami ada sedikit perbedaan, yaitu dia mau meluncurkan seminggu 60 atau seminggu 100 nggak pernah [landing right lagi], dia hanya meluncurkan [satelit] landing right hanya sekali, walaupun spesifikasi satelitnya berubah. Dia hanya sekali. Kami merasa ada proses-proses yang sebenarnya enggak benar," imbuhnya.
(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Starlink Mau Jualan Internet di RI, Ini Sederet Syaratnya
