
Heboh Roleplay di TikTok, Riset Ungkap Temuan Mengerikan

Jakarta, CNB Indonesia - TikTok menjadi media sosial yang populer belakangan ini. Penggunanya pun berasal dari berbagai kalangan dan umur, tak terkecuali remaja dan anak-anak.
Baru-baru ini muncul tren 'roleplay' di TikTok. Mulanya viral gara-gara sebuah video yang memperlihatkan seorang ayah memergoki anaknya tengah bermain roleplay yang tak sesuai umurnya.
Sebagai informasi, roleplay dalam konteks di TikTok adalah melakoni peran tertentu di luar karakter asli seseorang. Peran itu disalurkan melalui konten yang dibuat, dari cara bertutur, filter pendukung, cara berpakaian, dll.
Psikiater Lahargo Kembaren SpKj mengemukakan sisi buruk dari RP di TikTok. Menurut dia, ada potensi seseorang bisa mengalami adiksi atau ketagihan. Hal ini bisa membahayakan bagi anak-anak yang masih berproses dalam pencarian jati diri.
"Ketika dia roleplay, ada kenyamanan, 'ternyata senang ya aku jadi peran ini'. Itu di otaknya akan keluar hormon dopamine yang bikin kenyamanan bagi dia. Dia akan merasa tenang dan nyaman sesaat, tapi ketika sudah menurun dia tidak punya cara lain lagi untuk mendapatkan ketenangan itu selain melakukan hal yang sama, sehingga terjadilah pola perilaku yang berulang-ulang," kata Lahargo dikutip dari detik.com.
Lebih lanjut, menurut penelitian dari Surgeon General's Advisory AS, ada dampak negatif dari penggunaan media sosial pada anak-anak dan remaja.
Sebuah studi pada remaja AS berusia 12-15 tahun yang disesuaikan dengan status kesehatan mental dasar, menemukan bahwa remaja yang menghabiskan lebih dari 3 jam per hari di media sosial berisiko dua kali lipat mengalami kesehatan mental yang buruk, termasuk gejala depresi dan gangguan kecemasan.
Dalam laporan berjudul "Social Media and Youth Mental Health" itu disebutkan, siswa kelas 8 dan 10 menghabiskan rata-rata 3,5 jam per hari di media sosial pada 2021.
Pada level remaja, eksperimen ini mengambil sampel dari seluruh perguruan tinggi AS. Hasilnya, media sosial berkontribusi pada peningkatan depresi (9% dari batas) dan kecemasan (12% dari batas).
Rekan penulis studi juga mencatat bahwa media sosial diperkirakan telah berkontribusi pada lebih dari 300.000 kasus depresi baru.
Jika efek yang cukup besar terjadi pada remaja usia kuliah, temuan ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang risiko paparan media sosial bagi anak-anak dan remaja yang berada pada tahap perkembangan otak.
Studi tersebut menyebutkan bahwa pembatasan penggunaan media sosial pada remaja dan anak-anak diperlukan untuk menjaga kesehatan mental mereka.
Sebuah uji coba terkontrol pada remaja usia kuliah menemukan bahwa pembatasan media sosial selama 30 menit setiap hari dalam tiga minggu menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam tingkat keparahan depresi.
Uji coba terkontrol lainnya di antara orang dewasa menemukan bahwa pembatasan media sosial selama empat minggu meningkatkan kesejahteraan subjektif yaitu, kebahagiaan dan kepuasan hidup sekitar 25-40%.
Dampak Media Sosial bagi Anak-Anak
Selain studi terbaru yang dipaparkan di atas, ada beberapa penelitian korelasi lain tentang hubungan antara penggunaan media sosial dan kesehatan mental yang menunjukkan alasan untuk memberi perhatian dan penyelidikan lebih lanjut tentang penggunaannya.
Studi-studi ini menunjukkan perhatian dari sisi bahaya sosial media pada gadis remaja dan mereka yang sudah mengalami kesehatan mental yang buruk.
Sebagai contoh, sebuah penelitian yang dilakukan di antara anak berusia 14 tahun menemukan bahwa penggunaan media sosial yang lebih besar menyebabkan kurang tidur, pelecehan online, citra tubuh yang buruk, harga diri yang rendah, dan skor gejala depresi yang lebih tinggi dengan asosiasi yang lebih besar untuk anak perempuan daripada anak laki-laki.
Mayoritas orang tua anak remaja pun mereka khawatir dengan penggunaan media sosial oleh anak. Mereka takut adiksi terhadap media sosial dapat menyebabkan masalah kecemasan atau depresi (53%), direndahkan (54%), dilecehkan atau diintimidasi oleh orang lain (54%), merasa tertekan untuk bertindak dengan cara tertentu (59%), dan paparan konten eksplisit (71%).
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Roleplay di TikTok Bikin Was-Was, Psikolog Ungkap Bahayanya