Tragis, Astronaut Menangis Lihat Bumi dari Luar Angkasa

Tech - Novina Putri Bestari, CNBC Indonesia
05 January 2023 09:50
Pesawat diperbantukan untuk memadamkan api saat memadamkan kebakaran hutan yang membakar di lereng bukit dekat Hemet, California, AS, Selasa (6/9/2022). (AP Photo/Ringo H.W. Chiu) Foto: Pesawat diperbantukan untuk memadamkan api saat memadamkan kebakaran hutan yang membakar di lereng bukit dekat Hemet, California, AS, Selasa (6/9/2022). (AP Photo/Ringo H.W. Chiu)

Jakarta, CNBC Indonesia - Beberapa waktu lalu, seseorang astronaut pernah mengungkapkan menangis saat melihat Bumi dari stasiun antariksa internasional (ISS). Apa sebabnya?

Megan McArthur, astronaut NASA, itu menjelaskan sedih saat melihat efek perubahan iklim dan pemanasan global di Bumi. Termasuk adalah kebakaran hutan yang menimpa sejumlah wilayah, seperti Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu.

"Kami sangat sedih melihat kebakaran di sebagian besar Bumi, bukan hanya Amerika Serikat," ujar McArthur dalam wawancaranya dengan Insider, dikutip dari Futurism.

Para ilmuwan, menurutnya, telah memperingatkan soal kebakaran hutan itu sebelumnya. Dia juga mendorong kerja sama seluruh komunitas global untuk menyelesaikan permasalahan itu.

"Selama bertahun-tahun para ilmuwan dunia telah membunyikan bel alarm ini. Ini adalah peringatan bagi seluruh komunitas global. Butuh seluruh komunitas global untuk menghadapi ini dan mengatasi tantangan tersebut," jelasnya.

Kebakaran hutan memang sempat melanda beberapa negara dunia. Selain AS, ada Siberia, Yunani, Spanyol, hingga Pacific Northwest yang mengalami hal serupa.

Kabarnya, Turki cukup terpukul akibat kebakaran hutan. AS juga berupaya merekrut petugas kebakaran dengan jumlah yang cukup.

Ancaman lain yang harus dialami Bumi saat ini adalah deforestasi yang terancam terjadi di hutan hujan Brazil. Sayangnya, kejadian itu telah terjadi dalam beberapa waktu terakhir ungkap Simon Evans dari Carbon Brief.

Sebagai informasi, deforestasi dilakukan agar lahan dapat digunakan sebagai misalnya pertanian, peternakan, bahkan kawasan tinggal atau perkotaan. Khusus di Brasil, lahan hutan itu dibuat untuk menanam tanaman komersial seperti karet, gula, dan tembakau.

Hal itu juga dipercepat dalam paruh terakhir abad ke-20, sebagai lahan peternakan sapi, perkebunan tanaman skala industri. Seperti kedelai, kelapa sawit, dan penebangan.

Berdasarkan hasil foto udara, lahan juga terus berkurang dari waktu ke waktu. Amazon juga lebih banyak melepaskan Co2 daripada menyerapnya dalam 10 tahun terakhir.

Selain itu 40% hutan di Bumi juga terancam menjadi sabana kering yang terjadi jika hujan turun akibat perubahan iklim. Sabana ada di wilayah dengan iklim sedang dan curah hujan lebih sedikit.

Penduduk Bumi 8 miliar

Pada November 2022, jumlah penduduk Bumi diproyeksi telah menembus angka 8 miliar jiwa.

Meskipun dibutuhkan 12 tahun populasi global untuk tumbuh dari 7 menjadi 8 miliar, dibutuhkan sekitar 15 tahun, yaitu sampai 2037, untuk mencapai 9 miliar. Ini tanda bahwa tingkat pertumbuhan keseluruhan populasi global sedang melambat.

"Tonggak sejarah ini adalah kesempatan untuk merayakan keragaman dan kemajuan, sambil mempertimbangkan tanggung jawab bersama umat manusia untuk planet ini," ujar Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, dikutip dari laman resmi PBB, Jumat (11/11/2022).

Negara dengan tingkat kesuburan tertinggi cenderung menjadi negara dengan pendapatan per kapita terendah. Oleh karena itu, pertumbuhan populasi global dari waktu ke waktu menjadi makin terkonsentrasi negara-negara termiskin di dunia, yang sebagian besar berada di Afrika sub-Sahara.

"Di negara-negara itu, pertumbuhan penduduk yang cepat dan berkelanjutan dapat menggagalkan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), yang tetap merupakan jalur terbaik dunia menuju masa depan yang bahagia dan sehat," kata Guterres.

Meskipun pertumbuhan penduduk memperbesar dampak lingkungan dari pembangunan ekonomi, peningkatan pendapatan per kapita adalah pendorong utama pola produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan.

Negara-negara dengan konsumsi sumber daya material dan emisi gas rumah kaca per kapita tertinggi cenderung ke negara-negara yang pendapatan per kapitanya lebih tinggi, bukan negara-negara yang populasinya berkembang pesat.

Memenuhi tujuan Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan suhu global, sambil mencapai SDG, sangat bergantung pada pembatasan pola produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan.

Namun, pertumbuhan populasi yang lebih lambat selama beberapa dekade dapat membantu mengurangi akumulasi kerusakan lingkungan lebih lanjut pada paruh kedua abad ini.


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Ngeri, Lubang Hitam 'Tetangga' Bumi Bisa Telan 10 Matahari


(npb)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading