Cerita Ekonomi Digital Merevolusi Industri Makanan Rakyat
Jakarta, CNBC Indonesia - Andai saja duo sahabat, Reza Firmanda dan Sri Sugiarti Purwitasari menyerah begitu saja, setelah satu setengah tahun berjibaku bisnis kuliner pada 2016, nama mereka tak akan dikenang dan tenar seperti sekarang. Kisah mereka hanya menambah kisah gagal yang lumrah terjadi pada bisnis rintisan, dan orang akan lupakan begitu saja.
Namun, Reza dan Sri rupanya tidak menyerah. Berbekal sisa saldo Rp15 juta, dari sisa sisa kebangkrutan, mereka bangkit lagi, mewujudkan impian sejak SMA menjadi pengusaha. Lagian, mereka sudah kadung terjun dengan resign dari pekerjaan, sehingga bertekad, kuliner menu ayam, Ayam Ayaman miliknya tak boleh mati.
Pindah lokasi gerai ke tempat strategis, mendekati kerumunan di dekat kampus Institut Teknologi Bandung, membuat dewi fortuna mulai memihak kepada keduanya. Titik balik kesukesan Ayam Ayaman mulai tampak saat mencoba bergabung ke layanan antar GoFood di 2016.
"Alhamdulillah terbantu sama GoFood sampai sekarang. Di 2019, pendapatan di lokasi Bandung itu 30% dari dine-in, 70% online dari GoFood. Sekarang di masa pandemi, porsi pendapatan paling tinggi itu online," ujar Reza seperti dikutip Gobiz.co.id.
Sekarang Ayam Ayaman sudah berkembang, mengusung tagline "24-hour chicken trafficking", Reza juga telah sukses membuat brand baru "Mami Ayam". Mereka Ayam Ayaman sudah berhasil melebarkan sayap keluar dari Bandung.
Sementara, cerita 'naik' kelas ada pada mantan pengendara Gojek Ahmad Fikri. Idenya alih setir berbisnis jualan ayam penyet muncul setelah ia kerap mendapat order pesanan via Go Food. Fikri mengaku kepincut jualan makanan setelah memperhatikan tren volume transaksi dari order yang ia peroleh semakin lama semakin tinggi.
Bersama sang istri, Fikri membuka usaha kuliner ayam penyet Jeletot Bonsar di kawasan Fatmawati Jakarta. "Kami daftar ke Go-food dan alhamdulillah, penjualan semakin pesat. Yang tadinya buka dari jam 9 pagi sampa jam 9 malam, sekarang sudah bisa buka 24 jam," kata dia, seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Revolusi Ekonomi Digital
Kisah Reza dan Fikri adalah bagian kecil dari bagaimana e-commerce, atau perdagangan elektronik mengubah propesk bisnis kecil, khususnya makanan rakyat di Indonesia. E-commerce adalah penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet, televisi, dan jaringan komputer lainnya.
E-commerce adalah salah satu dari tiga bagian utama ekonomi digital yaitu, penggunaan teknologi informasi untuk menciptakan atau beradaptasi dengan pasar atau konsumen barang dan jasa. Dua komponen utama lainnya adalah e-business, dan e-business infrastructure.
Sampai dengan belum bermunculannya inovasi-inovasi via aplikasi Android dan Appstore di ponsel pintar, digital ekonomi apalagi teknologi adalah sektor bisnis padat modal dan mahal, serta sedikit sumbangsihnya pada penciptaan lapangan pekerjaan. Penggunannya adalah korporat dan cenderung bisnis ke bisnis (B2B), dibandingkan bisnis ke konsumen (B2C) apalagi konsumen ke konsumen (C2C).
Namun, penggunaan masif internet mengubah lanskap digital ekonomi, sehingga ia mampu merevolusi cara bisnis dari mulai konglomerasi sampai dengan usaha kecil di pinggir jalan. Indonesia adalah contoh menarik di Asia.
Indonesia, adalah pasar besar digital ekonomi, dengan pengguna internet dari hanya tak sampai 2 juta orang pada era kiamat dotcom tahun 2000, sampai 88 juta orang saat Presiden Jokowi naik tampuk kekuasaan pada 2014. Kini, sejak 2021 penggunanya sudah tembus diangka 200 juta.
Di Asia Tenggara, Indonesia adalah pemimpin. Data Google, Temasek dan Bain & Company menunjukkan, ekonomi digital Asia Tenggara tumbuh lebih cepat dari yang diharapkan di tahun ini, karena nilai barang dagangan bruto (GMV) telah mencapai US$200 miliar. Padahal, mereka memprediksi angka itu baru tercapai pada 2025.
Data itu menunjukkan, Indonesia berkontribusi nyaris 40% atas total GMV. Pertumbuhan GMV secara tahunan mencapai 22%, dimana ekonomi digital Indonesia diproyeksikan telah bernilai US$77 miliar tahun ini dan dapat menyentuh US$130 miliar pada 2025, dengan e-commerce sebagai pendorong utama.
Revolusi Makanan Rakyat
Menilik kebelakang, ada sejumlah inovasi yang secara kasat mata tampak mendukung pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia, khususnyadari e-commerce. Diantaranya, duo William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison yang yang merilis Tokopedia pada pada 17 Agustus 2009 dengan misi pemerataan ekonomi secara digital. Dikisahkan, mereka memulainya dari sebuah warnet.
Ada juga pesaingannya, Bukalapak yang didirikan pada 10 Januari 2010 oleh Achmad Zaky, Nugroho Herucahyono, dan Fajrin Rasyid di sebuah rumah kos semasa berkuliah di Institut Teknologi Bandung.
Trobosan yang cukup brilan adalah revolusi transportasi secara digital yang diinisasi Nadiem Makarim-sekarang Menteri Pendidikan-pada 2009, Gojek. Layanan ini dengan cepat mendapat sambutan konsumen karena mampu memecahkan masalah utama konektivitas transportasi di Indonesia, khususnya kota-kota besar seperti Jakarta.
Gojek juga pioneer digital untuk layanan pesan makanan di Indonesia saat merilis Go Food pada April 2015. Mereka memulainya dengan 3.000 armada ojek terdaftar dengan lebih dari 15.000 tempat makan di wilayah jabodetabek, mulai dari warung kaki lima hingga restoran mewah.
"Pengguna bisa pesan makanan dengan harga hingga Rp 1 juta, ditalangi dulu oleh driver GoJek," ujar pernyataan perusahaan di acara peluncuran fitur Go-Food (8/4/2015) di Jakarta silam.
Dalam statistik, kelahiran Go Food tampak berkontribusi besar pada perkembangan usaha mikro dan kecil di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, industri makanan pada kelompok industri mikro dan kecil (IMK) bertambah signifikan dari 1,2 juta usaha pada 2014, atau sebelum ada layanan Go Food, menjadi 1,57 juta pebisnis pada 2015-tahun dimana Go Food dirilis. Ini tumbuh 30%, atau tertinggi hingga catatan terbaru sekarang.
Industri makanan, adalah Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KLBI) nomor 10 yang mencakup produksi berbagai produk makanan mulai dari daging olahan hingga jualan makaroni. Industri makanan selalu terdepan, dimana dari lebih dari 4,2 juta pelaku IMK pada 2020, sebanyak 36% diantaranya adalah industri makanan, disusul industri kayu dan bahan dari kayu yang jauh di bawahnya, hanya 15% dan industri pakaian 14%. Porsi ini tak berubah dari tahun ke tahun.
Jumlah industri makanan kemudian berkembang pesat pada 2018, dengan jumlah 1,74 juta atau mencapai 41% dari total IMK tahun itu yang berjumlah 4,26 juta. Salah satu faktor pemicunya adalah semakin ramainya persaingan di bisnis pesan-antar makanan, dimana ada Grab Food yang diluncurkan tak lama setelah Go Food, di Jakarta pada 2016.
Sekarang persaingan semakin ketat dan mendorong pertumbuhan bisnis makanan di Indonesia. Tak heran, ekonomi digital Indonesia seperti di lansir Google dan kawan-kawan melonjak. Ada layanan ShopeeFood yang dirilis pada April 2020, dan AirAsia Food yang secara resmi pada 8 Maret 2022 lalu. Sayangnya, survei data IMK di BPS terhenti sejak 2020, sehingga sulit mengukur perkembangan bisnis makanan untuk kelas mikro dan kecil, paling tidak untuk mengetahui daya tahan atau perkembangan mereka pada masa pandemi Covid-19.
Namun data tahun 2020 menunjukkan, satu tahun pandemi telah menekan jumlah usaha IMK makanan, yang turun sekitar 4% menjadi 1,52 juta dari tahun 2019. (Lihat grafis-catatan; data 2016 tidak tersedia)
Long Way To Go
Meskipun bisnis makanan dan kuliner tumbuh cukup pesat, namun nyatanya itu masih jauh dari ideal. Masih banyak potensi yang belum tergali oleh penetrasi digital ekonomi di sektor IMK, termasuk makanan. Data BPS tahun 2020 menunjukkan, hanya 16,4% dari 4,21 juta IMK yang menggunakan internet untuk alasan mulai dari penjualan (40%) hingga promosi (25%).
Dari jumlah penetrasi internet ke IMK tersebut, industri makanan adalah pemafaat paling banyak, yaitu oleh 205 ribu pengusaha atau sekitar 30%, dan di susul industri pakaian jadi sebanyak 156 ribu usaha (22,66 persen).
Survei menunjukkan, rendahnya literasi dan tingkat pendidikan pengusaha IMK menjadi salah satu penyebab rendahnya penggunaan internet pada usaha IMK. "Mereka cenderung belum melek teknologi. Pembinaan untuk meningkatkan pemanfaatan internet pelaku usaha IMK melalui pelatihan berbasis internet sangat dibutuhkan," ujar survei BPS itu.
Padahal, kehadiran revolusi digital ekonomi untuk usaha IMK dapat berkontribusi besar pada penciptaan lapangan pekerjaan di Indonesia. Ini karena tipikal usaha ini, khusunya, industri makanan yang cenderung padat karya, dan mampu menyedot banyak pekerja berpendidikan rendah yang merupakan mayoritas di Indonesia. Data yang ada, tingkat pendidikan sebagian besar pekerja atau sebanyak 76,61% di usaha IMK merupakan lulusan SMP atau tingkat dibawahnya.
(mum/mum)