
9 Alasan Sistem Mitra-Aplikasi Dituduh Tak Adil dan Menipu

Jakarta, CNBC Indonesia - Sistem kerja mitra-perusahaan yang diterapkan pada beberapa aplikasi saat ini kerap dinilai tak adil untuk para pekerja. Model bisnis ini tengah disorot oleh regulator di Amerika Serikat.
Komisi Perdagangan Federal (FTC), badan federal Amerika Serikat yang memantau potensi monopoli dan kecurangan dalam aktivitas bisnis, tengah menyorot sistem kerja mitra-aplikasi yang dipopulerkan oleh layanan on-demand seperti Uber.
Di Indonesia, sistem mitra adalah fondasi dari bisnis perusahaan teknologi penyedia layanan on-demand, yaitu Gojek dan Grab.
Lembaga tersebut tengah menyelidiki ekonomi dan kebijakan gig economy yang kompleks serta berpotensi tidak adil karena 'tindakan dan praktik yang menipu, tidak adil, dan berpotensi melanggar hukum'.
FTC mengungkapkan 9 alasan perjanjian mitra aplikasi tidak adil dan menipu. Berikut informasinya, dikutip dari Tech Crunch, Senin (19/9/2022):
![]() |
1. Kontrol tanpa Tanggung Jawab
Peran pekerjaan kerap diartikan sebagai memaksimalkan risiko pada para pekerja. Namun di sisi lain, meminimalkan tanggung jawab atau pengeluaran bagi pemberi kerja.
2. Berkurangnya Daya Tawar
Ada beberapa alasan mengapa pekerja memiliki kemampuan terbatas untuk mengambil tindakan pada pemberi kerja. Yakni dimulai dari kurangnya transparansi, lingkungan kerja terdesentralisasi, serta pengabaian jalur hukum.
3. Pasar Terkonsentrasi
Efek dari jaringan serta subsidi biaya disebut bisa menghambat persaingan. Selain itu membuat pekerja terkunci pada beberapa platform.
4. Praktik Pembayaran Menipu atau Tidak Adil
Klaim menyesatkan mengenai struktur serta kebijakan gaji bisa memikat pekerja dengan alasan palsu atau mencegah perbandingan akurat.
5. Biaya atau Syarat Kerja yang Tidak Diungkap
Biaya dan pengeluaran terkait pekerjaan sering kali diabaikan atau diremehkan. Praktik ini membuat gaji bersih para mitra terkesan lebih besar dari kenyataan.
6. Praktik Tidak Adil atau Menipu dari Bos yang "diotomasi"
Sistem mitra-aplikasi mendistribusi pekerjaan dengan otomatis dngan pemantauan super ketat. Ini bisa menyesatkan, mengubah gaji, peringkat atau memberi kesempatan pada pemberi kerja untuk "menendang" pekerja yang tidak diinginkan.
7. Syarat Kontrak Tidak Adil dan Mobilitas Terbatas
Terkait kontrak, juga selalu tidak bisa dinegosiasikan. Bahkan pekerja sering dilarang menggunakan pesaing, melontarkan kritik, atau menuntut.
8. Penetapan dan Koordinasi Upah
Praktik ekonomi on-demand dengan sengaja pada penetapan upah, pengurangan tunjangan serta perilaku anti-pekerja terkoordinasi lain.
9. Konsolidasi dan Monopoli Pasar
Persaingan yang berkurang bisa menyebabkan monopoli, monopsoni, hingga predatory pricing. Pada akhirnya praktik tersebut melanggar undang-undang antimonopoli.
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 7 Aplikasi Ojek Online yang Bangkrut di RI, Ternyata Banyak!