5 Miliar Orang Kelaparan Jika Perang Nuklir, Negara Ini Aman
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemetaan skenario dan penghitungan kehancuran akibat perang nuklir di musim dingin bukanlah hal baru.
Menggunakan data terbaru tentang hasil panen dan sumber daya perikanan, sekelompok ilmuwan dari seluruh dunia telah mengusulkan skenario mengenai rantai pasokan makanan jika konflik nuklir yang meningkat antara negara-negara yang bertikai.
Dalam penelitian yang dipublikasikan di Nature Food, selain memakan korban langsung dalam serangan yang jumlahnya bisa mencapai ratusan juta, tingkat kematian akibat krisis kekurangan makanan juga dapat mengakibatkan kematian bagi sebagian besar populasi dunia.
Dilansir dari Science Alert, Kamis (18/8/2022), para peneliti menggunakan Model Sistem Bumi Komunitas Pusat Penelitian Atmosfer Nasional untuk memprediksi bagaimana pola cuaca dapat berubah dengan penambahan jelaga dan debu yang bergejolak oleh ledakan nuklir.
Ini kemudian digunakan untuk menginformasikan perkiraan tentang bagaimana hasil panen dan laut akan bereaksi terhadap perubahan suhu permukaan, cahaya langsung dan curah hujan.
Hasilnya tidak begitu bagus. Ambil contoh pemboman nuklir yang relatif kecil yang melibatkan sekitar 100 ledakan, seperti yang mungkin diantisipasi jika ketegangan antara India dan Pakistan meledak.
Dengan perhitungan para peneliti, 5 juta metrik ton partikulat akan dibuang ke atmosfer. Sebagai perbandingan, bencana kebakaran hutan di California pada 2017 dan di Australia pada akhir 2019 masing-masing mengeluarkan emisi sebanyak 1 juta metrik ton.
Konsekuensinya berarti sebagian besar dari penduduk akan memiliki akses ke 8 persen kalori lebih sedikit, dengan hingga 255 juta orang kelaparan selama tahun-tahun berikutnya. Ironisnya, penyesuaian dalam cara ini adalah fokus memasok pangan secara internal hingga beberapa komunitas justru mengonsumsi lebih banyak, meningkatkan asupan mereka hingga 5 persen.
Saat jelaga di udara menumpuk dengan jumlah bom nuklir yang lebih banyak, akan semakin sulit menemukan cara mengukur sumber makanan, bahkan bagi mereka yang ingin memanfaatkan kekacauan.
Perang yang menghabiskan persediaan ribuan bom AS dan Rusia akan menambah 150 juta metrik ton pasir dan debu ke atmosfer planet bumi.
Ini akan menjadi kelaparan bagi 5 miliar orang di seluruh dunia karena mereka berjuang untuk mendapatkan makanan yang cukup untuk bertahan hidup selama dua tahun ke depan.
Akses yang siap untuk pasokan makanan akan tergantung kepada lokasi. Dalam skenario 250 ledakan nuklir menghasilkan 27 juta metrik ton material ke udara, garis lintang tinggi di belahan utara Bumi akan mengalami penurunan lebih dari 50 persen makanan yang dipanen, dan sekitar 20 hingga 30 persen penurunan cadangan penangkapan ikan.
Untuk negara-negara yang lebih dekat ke khatulistiwa, pengurangan rata-rata akan kurang dari 10 persen.
Seperti yang disaksikan dalam konflik antara Ukraina dan Rusia, perdagangan makanan hampir pasti akan terputus. Negara-negara yang bergantung pada makanan yang dikirim dari tempat lain perlu segera menyesuaikan diri.
Namun, seperti yang dicatat oleh para peneliti, gejolak sosial politik yang pasti akan mengikuti mengubah prediksi yang relatif lurus ke depan tentang ekonomi pangan menjadi kacau balau.
Penelitian yang dilakukan memajukan prediksi dari pengalaman masa lalu dengan data yang lebih akurat, sehingga membuat penanganan soal pangan kedepannya bisa lebih baik lagi, dan masih ada banyak hal yang tidak diketahui tentang bagaimana umat manusia akan berjuang setelah perang nuklir.
Di beberapa negara, kondisinya tidak terlalu buruk. Tanpa pasokan internasional, penduduk Australia masih bisa mendapatkan kalori spring wheat (biji-bijian yang dipanen pada musim gugur) mereka. Dampak perang nuklir, menurut penelitian hanya berpengaruh kecil ke komoditas ini bahkan berpotensi mendongkrak produksi.
Negara tetangga Australia, Selandia Baru juga terdampak minimal. Penduduk Australia dan Selandia Baru, kemungkinan besar selamat dari ancaman kelaparan meski harus sedikit mengurangi konsumsi pangan mereka.
(dem)