Sri Mulyani Benar, Ini Fakta Ancaman Mengerikan Usai Covid-19

Novina Putri Bestari, CNBC Indonesia
28 December 2021 11:10
Kekeringa disejumlah negara. (REUTERS/SERTAC KAYAR)
Foto: Kekeringa disejumlah negara. (REUTERS/SERTAC KAYAR)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut adanya ancaman yang lebih mengerikan dari Covid-19, yaitu perubahan iklim (climate change). Ia bahkan meminta semua pihak untuk tidak meremehkan isu ini karena dampaknya sudah semakin terlihat.

"Sebelum 2045 kita akan menghadapi 2030 climate change yang menghasilkan Paris Agreement, semua negara melakukan komitmen untuk mengurangi CO2 karena dunia ini sudah menghangat," ungkap Sri Mulyani dalam sebuah webinar, beberapa waktu lalu, seperti dikutip Selasa (28/12/2021).

"Banjir yang tidak pernah terjadi, terjadi. Di Jerman sampai terjadi banyak sekali korban. Kebakaran hutan, kekeringan, ada juga turunnya es atau salju di berbagai daerah yang belum menghadapi ini jadi climate change is real karena dunia sudah menghangat di atas 1%. Kita menghindari untuk menghangat," tegasnya.

Pernyataan Sri Mulyani ini sejalan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres bahkan menyebutnya makin nyata ancaman perubahan iklim bagi Bumi, seraya menyebut "kode merah".

"Ini adalah tahun yang kritis untuk aksi iklim," kata Antonio Guterres, dikutip dari Reuters. "Tahun ini telah melihat emisi bahan bakar fosil bangkit kembali, konsentrasi gas rumah kaca terus meningkat dan peristiwa cuaca buruk yang disebabkan oleh manusia yang telah mempengaruhi kesehatan, kehidupan dan mata pencaharian di setiap benua."

PBB mengatakan konsentrasi gas rumah kaca utama di atmosfer, yakni CO2, metana, dan dinitrogen oksida, terus meningkat pada tahun 2020. Ini berlangsung hingga paruh pertama tahun 2021.

Kini suhu rata-rata global selama lima tahun terakhir termasuk yang tertinggi dalam catatan, diperkirakan 1,06 Celcius hingga 1,26 Celcius di atas tingkat pra-industri. Ada kemungkinan 40% bahwa suhu global rata-rata dalam satu dari lima tahun ke depan akan 1,5 Celcius lebih hangat daripada tingkat pra-industri.

"Kecuali ada pengurangan segera, cepat dan skala besar dalam emisi gas rumah kaca, membatasi pemanasan hingga 1,5 Celcius tidak mungkin dilakukan, dengan konsekuensi bencana bagi manusia dan planet tempat kita bergantung," kata Guterres.

Badan Meteorologi Dunia (WMO) dalam laporannya beberapa waktu lalu mengungkapkan jumlah bencana dari banjir dan gelombang panas terus meningkat karena perubahan iklim, bahkan mencapai lima kali lipat pada 50 tahun terakhir.

Selain itu lebih dari 2 juta orang menjadi korban dari bencana-bencana tersebut. Total kerugiannya mencapai US$3,64 triliun atau sekitar Rp 52.242 triliun.

WMO mengungkapkan telah melakukan tinjauan komprehensif mengenai kematian dan kerugian ekonomi karena cuaca, air dan iklim ekstrem. Survey melihat pada 11 ribu bencana terjadi antara 1979-2019.

Diantara bencana tersebut ada kekeringan tahun 1983 di Ethiopia yang menelan korban kematian hingga 300 ribu orang. Selain itu ada juga Badai Katrina di Amerika Serikat (AS) pada 2005 dengan kerugian mencapai US$163,61 miliar.

Laporan WMO mengungkapkan jika jumlah bencana meningkat lima kali lipat dari 1970 hingga dekade terakhir. Lembaga tersebut juga mengaitkan frekuensi yang meningkat dengan perubahan iklim serta laporan bencana yang lebih baik.

Biayanya melonjak dari tahun 1970-an adalah US$175,4 miliar, lalu melonjak US$1,38 triliun tahun 2010-an. Saat itu AS dihantam badai Harvey, Maria, dan Irma.

"Kerugian ekonomi meningkat seiring meningkatnya eksposur," kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas, dikutip dari Reuters.

Sementara itu jumlah kematian akibat bencana turun. Tahun 1970-an tercatat 50 ribu jiwa lalu menjadi sekitar 18 ribu di tahun 2010. Artinya ada perencanaan lebih baik, seperti peringatan dini yang meningkat ucap Taalas.

"Sistem peringatan dini multi-bahaya yang ditingkatkan telah menyebabkan penurunan angka kematian yang signifikan," ungkapnya.

Sayangnya, 91% dari jumlah kematian terjadi di negara berkembang. Hanya setengah dari 193 anggota WMO yang punya sistem peringatan dini multi bahaya.

Taalas mengatakan ini merupakan kesenjangan yang parah dalam pengamatan cuaca telah merusak keakuratan pada sistem tersebut. Ini terjadi khususnya di Afrika.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular