
Banyak Stigma Negatif Bikin Orang Takut Tes Covid-19

Jakarta, CNBC Indonesia- Pasien Covid-19 masih mendapatkan stigma negatif di masyarakat, baik yang baru memeriksakan dirinya maupun yang sudah sembuh dari penyakit ini. Bahkan masih banyak orang yang enggan memeriksakan dirinya karena faktor ekonomi dan stigma negatif yang diterima.
"Dari sisi ekonomi ada ketakutan kalau positif dia jadi tidak bisa mencari uang, dan bagaimana keluarganya nanti. Kemudian masalah testing juga membingungkan, apakah mereka harus rapid tes ataukah swab?" kata Tim Pakar Satgas Covid-19 Bidang Perubahan Perilaku Turro Wongkaren, Selasa (24/11/2020).
Di sisi lain, antrian ketika menunggu untuk swab atau rapid seringkali lama dan banyak yang berpikir akan tertular Covid saat menunggu. Persepsi inilah yang menurutnya harus diluruskan di tengah masyarakat, agar bukan hanya protokol kesehatan tetapi juga testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan) dan treatment (perawatan).
"Orang takut kalau positif atau reaktif apa yang akan orang katakan, dia juga takut kalau harus dikucilkan oleh keluarga, ini yang artinya memikirkan cara bagaimana tes itu memiliki makna lain, misalnya bagaimana kalau anda di tes anda bisa disebut pahlawan," kata dia.
Dengan melakukan tes Covid-19 seseorang akan mengetahui upaya perawatan secara dini dengan isolasi mandiri sehingga mencegah penularan di masyarakat. Turro mengakui hal ini masih sulit dilakukan karena mereka takut tidak bisa melakukan kegiatannya dan mengganggu pekerjaannya, terutama untuk pekerja harian.
"Tidak mudah dan harus diberikan pemahaman ini diperlukan kalau testingnya rendah kita tidak tahu sejauh mana Covid-19 menyebar dan memperburuk suasana, orang yang mau dites adalah pahlawan," ujar Turro.
Dia menegaskan masalah kesehatan dan ekonomi penting, sehingga harus ada kerjasama semua pihak untuk memastikan masyarakat mau melakukan tes sebagai salah satu upaya pencegahan penularan Covid-19. Selain itu penting bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan untuk memberikan komunikasi dan edukasi testing penting dilakukan di masyarakat. Jika tidak melakukan test secara masif, maka melakukan protokol kesehatan memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan bisa menjadi tidak berdasar.
"Kalau tidak banyak melakukan testing, tracing, dan treatment, melakukan protokol 3M bisa jadi kita melakukan sesuatu tanpa data yang benar," ujarnya.
Kasubbid Tracking Satgas Covid-19, Kusmedi Priharto menyarankan jika ada yang habis berkumpul dengan banyak orang tanpa menerapkan protokol kesehatan, maka bisa langsung datang ke puskesmas untuk memastikan tertular atau tidak. Sementara testing untuk petugas kesehatan dapat dilakukan minimal 1-2 minggu sekali sesuai dengan anjuran WHO, baik yang bergejala maupun tidak bergejala.
"Kata-kata baik yang bergejala maupun tidak bergejala harus diperiksa menunjukan penyakit ini kita sering kali tidak tahu gejalanya, untuk itu harus dites agar mengetahui apakah tertular atau tidak," katanya.
Kusmedi mengatakan saat ini pandangan masyarakat mengenai langkah 3T terutama testing berbeda-beda, dan pendapat dari masing-masing yang belum tentu benar. Akibatnya ada stigma masyarakat mengenai Covid-19, baik dari sisi yang penyintas, tenaga kesehatan bahkan orang yang hanya sekedar memeriksakan diri.
"Saya bicara dengan teman-teman di lapangan, untuk menjelaskan pada masyarakat apa sebenarnya Covid-19 dan apa yang harus dilakukan jika hal itu terjadi pada orang dekat kita. Jika ada yang merasa tidak enak badan seperti batuk pilek, harus diberikan pengertian untuk memeriksakan diri ke puskesmas terdekat supaya diberikan pengertian dan betul-betul diperiksa," jelas dia.
Satgas Penanganan Covid-19 menegaskan bahwa protokol kesehatan #pakaimasker, #jagajarak hindari kerumunan dan #cucitangan rutin pakai sabun serta air mengalir adalah cara paling efektif dalam membendung penularan Covid-19.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article WHO Buka-bukaan Kenapa Pandemi Covid-19 Belum Berubah Endemi